"Buku harus dijadikan kapak untuk memecah lautan beku dalam diri kita" #Franz Kafka

Antara Teologi Splinter Prof Azyumardi Azra dan Teomorfik Manusia Prof Wahyuddin Halim.

ilustrasi

Tulisan kali ini masih menyorot soal Covid 19. Pagi ini saat menyorot data dunia saat mengakses https://www.worldometers.info/coronavirus/ disitu dijelaskan dengan sangat mendetail tentang Grafik kasus, grafik kematian, grafik inkubasi, total kesembuhan, sampai dengan kasus baru. Masing masing negara terdampak paling berat seperti negara Prancis yang hari ini telah bertambah +1.355 kematian, ada Spanyol +961 kematian, Amerika +784, dan Italy +760 kematian. Merupakan deretan negara maju dengan kematian yang tinggi dalam grafik worldometers. Dan tentu grafik perkembangan terbaru ini menjadi percakapan heboh pagi ini di lini masa. ada yang mengaitkan bahwa pandangan seseorang dipenuhi dengan pandangan kecemasan sehingga melihat angka-angka yang meninggal dalam grafik itu hanya sebagai sederetan angka statistik bukan pada manusianya.

Ada yang beranggapan agamis tetap pada pendirian dan cenderung "BAHAGIA" melihat kelompok negara maju seperti Amerika, Prancis, Spanyol yang menempati kasus paling banyak di dunia mungkin karena sejarah kolonialisme masa silam yang membuatnya seolah merasa dendam terbalaskan dan menganggap bahwa "Tuhan" dalam fikirannya telah memberikan azab kepada mereka. Anggapan seperti ini subur, terlihat dan berseliweran di lini masa kita masing masing. ingin menyanggah namun bukan saatnya untuk berdebat, hanya bisa sedikit menahan diri agar imun dan konsentrasi tetap terjaga dengan baik. Kemarin saya mempelajari 2 tulisan bersambung Prof Azyumardi Azra soal Splinter Agama, beliau melihat ini sebagai fenomena praktik Splineter di kalangan umat beragama baik di kalangan Nasrani, Hindu, Budha, Muslim dan kelompok lain.


Fenomena seperti ini seperti sama, kompak dan betul terjadi tanpa memandang kelompok, identitas, status sosial. Fenomena Teologi Splinter seperti ini "lumayan" menjengkelkan lantaran seseorang terlalu percaya diri akan keimanan, akhlak yang akan menghalau segala bentuk bencana dan wabah dibawah pemimpin ataupun Imam mereka. Himbauan negara dihiraukan apalagi himbauan Kesehatan Nasional juga ditampik. Walhasil, mereka mereka tetap menyelenggarakan ritual keaagamaan dengan jemaah yang besar kapasitasnya yang hadir. itulah yang membuat Amerika kewalahan mencegah perkembangan Covid 19, dominasi Teologi Splinter yang beranggapan "Tuhan menjanjikan perlindungan bagi diri kita dari semua hal ini (bahaya virus)", kelompok politisi yang mencari panggung juga beramai-ramai mendukung narasi tersebut bahwa tidak ada alasan yang kuat untuk menutup semua tempat tempat ibadah, ritual keagamaan harus tetap dilanjut, dominasi teologi splinter seperti ini ada disemua agama dan terjadi diwaktu yang bersamaan.

Narasi seperti inilah yang membuat kesesatan ditengah pandemik global yang menyepelekan komitmen global dan komitmen keberagamaan. Merasakan fenomena seperti ini, saya teringat pada konsep Negara Moral Al Ghazali, walau Al Farabi juga mempunyai konsep negara Ideal yang berbicara soal wahyu dan intelektual yang kemudian menghubungkan pengelolaan negara, kekuasaan maupun etika politik. Disini sedikit menyinggung Negara Moral Al Ghazal yang memperkokoh komitmen moral kerakyatan dengan keimanan untuk mendukung pemimpin. Ditengah pandemik global seperti ini malah terlihat suatu "peluang" menarik untuk menjatuhkan rezim bahkan menggugat ke pengadilan yang dilakukan oleh para politisi, para buzzer bayaran yang hanya sekedar mengolok olok segala kebijakan yang dihimbau oleh Pemerintah, hanya di Indonesia Covid19 ini berasa Pilpres 2019 lalu masih ada Rasa Cebong dan Rasa Kampret!!! Dan tentunya, mempercayai para kelompok seperti mereka ditengah huru hara Covid19 sepertinya sia sia.

Fenomena Teologi Splinter ini dipupuk oleh kelompok kelompok yang senang bertikai, mereka saling beradu argumen, yang satu mengolok satunya menjelaskan. yang satu melempar Tesis satunya Mengantitesis. Fenomena ini yang kemudian disebut pagi hari ini oleh Prof Wahyuddin Halim sebagai Teomorfik manusia; bahwa manusia sebagaimana adanya dan sesuai maksud penciptaannya oleh Tuhan; bahwa ia tidak dapat menjadi sesuatu yang terbelah atau tak lengkap, dan ditutup oleh pernyataan Frithjof Schuon, Tugas mendasar manusia adalah menjadi manusia apa adanya. Kaliman ini yang membuat saya kemudian juga teringat akan kesalehan individual seorang dalam beragama; sampai sejauh mana mereka selama ini hadir dalam kegiatan2 ritual keagamaan sebelum Covid19 sehingga mampu menjadi corong Splinter dan Corong Teomorfik.

Sejauh mana pencapaian keyakinan spritual mereka sehingga mampu membuat gaduh dan merasa memiliki dukungan pada hukum syariat; dan sampai sejauh mana pemahaman spritual mereka sehingga merasa mendapatkan ketaatan yang menyeluruh dan mendapat legitimasi publik, selain kegaduhan dan keributan tiap harinya. Kita akui dominasi Spliter dan dominasi Watak Teomorfik ini pasti akan bertemu, walau kita tahu Dunia saat ini seolah kembali bernafas dan perubahan iklim dalam skala yang besar. Penurunan aktivitas manusia, pabrik industri dan transportasi massal dihentikan yang menyebabkan asap polusi, tidak ada pembalakan liar, penebangan pohon, laut menjadi tenang. Jika melihat animasi visual digital berdasar proyeksi satelit milik Amerika yang dirilis laporan dari Science Alert sejak 1 Januari sampai 11 Maret 2020 kemarin yang diberi nama "Breathing Earth" memperlihatkan tingkat kehijauan di bumi dan penurunan besar dari polusi udara secara khusus nitrogen dioksida industri dan transportasi, hal ini terjadi seiring dengan pengurangan aktivitas manusia di rumah.

#tetapkidirumah
#salammakki
Share:

0 Comments:

Post a Comment

About Me

My photo
Diri Umar Bakri. Pengoleksi Buku lapuk. Peminum Kopi Kapal Api. Berusaha melancongi imajiner tiap waktu.

Pengunjung Blog

Followers

"Buku harus dijadikan kapak untuk memecah lautan beku dalam diri kita" #Franz Kafka