"Buku harus dijadikan kapak untuk memecah lautan beku dalam diri kita" #Franz Kafka

Penjara, Laboratorium Vakum dan Simulasi Ricuh Anarko

Ilustrasi

Penjara ‘Orwel’ sampai Laboratorim Vakum ‘Boudrillard’
Sejak semua kegiatan terpusat di perkotaan, segala macam bentuk aktivitas perekonomian berputar pada kota dan isinya. Gedung-gedung raksasa menjadi simbol peradaban suatu kota tentang segala bentuk pertukaran maupun strategi dan operasi budaya yang terdekonstruksi tiap saatnya. Sepanjang strategi budaya tersebut juga disaat yang sama kumpulan essai George Orwel yang berbicara tentang “Bagaimana Si Miskin Mati” membahas sekitar soal perang, politik, kemanusiaan dan sastra seolah olah berjalan berdasarkan prinsip sirkulasi bebas yang tidak teratur. 

Ketika menyebut kota, yang ada adalah peradaban, kemewahan, kesejahteraan tempat berkumpulnya manusia namun ketika menyebut Si Miskin, yang ada seputar  penyakit , kemanusiaan, kotor dan lain sebagainya yang mirip perkataan juru bicara Covid 19 yang menempatkan kemiskinan sejajar dengan penyakit, membuat drama ketersinggungan kelompok selama berhari-hari namun terlupakan seiring dengan aktivitas infomasi yang terdegradasi oleh informasi lainnya mungkin tak salah, ada benarnya seperti dalam kumpulan essai George Orwell itu, sekilas menggambarkan tentang kehidupan penjara, tahanan yang berbadan kurus kerempeng, kepalanya gundul dan matanya basah dan menerawang yang menunggu giliran untuk berjalan dan melangkah mati menuju ajalnya di tiang gantungan. Dalam paparan Orwell, seseorang bertindak konyol lantaran desakan massa dan intervensi yang tidak jelas sehingga seseorang pun juga tak ingin tampak bodoh tanpa berbuat apa-apa. 

Ya terdengar seperti sirkulasi yang tidak teratur dan tak bersistem. Berbeda dengan penjelasan Jean Boudrillard yang menyoal ritual transparansi daripada penjara dan tahanan Orwell, menurutnya seseorang berada dalam eksistensi di dalam Laboratorium yang vakum, lingkungan yang kita tempati adalah sebuah laboratorium yang dianggap sebagai lingkungan buatan untuk daya tahan biologis tubuh seseorang agar terprotektif. Seseorang merenung, berfikir dalam laboratorium yang vakum layaknya pro kontra soal menggunakan darurat sipil seperti bahasa diawal April 2020 Pak Jokowi berkata semua skenario kita siapkan dari yang ringan, moderat, sedang, sampai kemungkinan yang terburuk. 

Darurat sipil itu kita siapkan apabila terjadi kondisi abnormal yang kemudian dirujuk dalam UU. No 23 tahun1959 tentang keadaan bahaya. Ya, Presiden berhak untuk menyatakan status itu walau timbul pro kontra dilingkungan masyarakat, akan tetapi isu darurat sipil ini juga merupakan salah satu skenario dari scenario lainnya semisal darurat militer, darurat perang sampai darurat bencana yang membahayakan kondisi Negara. Akan tetapi yang disepakati untuk skenario yang boleh dikata moderat adalah kebijakan penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang merujuk pada UU. Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan dibandingkan kebijakan Lockdown yang membuat Negara-negara Eropa takluk dan tidak teratur cenderung ricuh seperti Amerika, Italia dan yang baru-baru ini terhadi pada Negara Turki yang warganya terlibat panic buying sampai dengan baku hantam di area perbelanjaan. 

Belum yang terheboh adalah Negara India, penduduknya berkumpul untuk dipulangkan oleh pemerintah namun yang terjadi adalah penumpukan sehingga mengakibatkan lonjakan arus manusia yang ingin kembali ke kampung halaman lantaran kehilangan pekerjaan di kota dimana mereka menjadi bagian daripada modernisasi perkotaan. Tidak mendapat tumpangan untuk pulang, akhirnya mereka memilih untuk berjalan kaki. Tentu ini juga menjadi masalah baru bagi mereka jika setibanya di kampong halaman, apakah bersatus ODP ataukan PDP ataukah sudah pada tahap status Positif. 

Seperti yang terjadi di Indonesia, larangan mudik, kehilangan pekerjaan dan belum optimalnya pembagian sembako dalam penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), seseorang lebih memilih untuk kembali ke Kampung Halaman, atau Desa atau tetap melanjutan pekerjaan seperti biasanya. Ini yang kemudian Boudrillard maksud pada Laboratorium yang vakum, seseorang diisolasi untuk dianggap steril dan jauh dari segala macam bentuk bakteri dan partikel namun karena tidak optimalnya sumber daya dan Negara merawat lingkungan tersebut sehingga yang diisolasi sekarat dalam kevakuman sampai kemudian kembali keluar dan berjibaku dengan semua orang yang berstatus ODP, PDP ataukau sampai menjadi korban. Lebih lanjut, Boudrillar berkata, Jika manusia terlepas dari pertahanan dirinya maka ia mudah diserang oleh ilmu pengetahuan. Jika dia terlepas dari fantasinya, manusia akan mudah diserang oleh psikologis. Jika dia terlepas dari segala macam bibit penyakit, manusia akan mudah diserang oleh ilmu kedokteran. 

Akibat dari ketidakoptimalan penanganan walau usaha dan ihtiar sudah dilakukan masyarakat kita memang rentan menjadi objek yang berserak, terpecah-pecah menjadi ego-ego yang susah untuk ditangani sehingga tidak mampu mencapai suatu finalitas yang didambakan bersama. Inilah yang menjadi gambaran, fantasi atau hayalan tinggi seseorang, kelompok atau masyarakat tertentu melihat Negara, melihat yang timpang, melihat ada yang tidak beres dalam pengelolaan dan pendistribusian kesejahteraan. Ada ruang tanya yang besar pada Negara untuk itu semua, untuk semua yang belum mendapatkan perhatian, stimulus sampai dengan mendapatkan kelangsungan hidup yang wajar. Hingga pada saatnya gelombang dan ancaman akan terulang secara perlahan sampai pada titik komunal yang disengaja. Mulai penguasa yang dianggap demokratis, dari kaum aristokrat, oligarki, monarki atau tirani, darimanapun asal genealoginya sehingga dimampukan bertransformasi kedalam  wujud Negara yang sesuai dengan kemanusiaan yang adil dan beradab.

Kill the Rich” Simulasi Ricuh Anarko
Kalimat diatas Kill the Rich adalah bahasa propaganda. Selain kalimat tersebut diatas ada kalimat yang juga ikut menyertai seperti “Sudah Krisis Saatnya Membakar”, “Mau Mati Konyol atau Melawan”, ke tiga (3) kalimat tersebut dipropagandakan dari Jakarta dan Bandung dan muncul disaat yang bersamaan. Pengakuannya didasari karena tidak puas dengan kebijakan-kebijakan pemerintah dan berupaya memanfaatkan situasi yang saat ini masyarakat sedang resah, ada juga pengakuan bahwa mereka terinspirasi oleh Film Laris seperti Joker dan dari Band Anti Flag berasal dari Amerika berjudul Kill the Rich”, band Punk ini dianggap sebagai Band Politik di Amerika lantaran membawakan lagu lagu kritik dan politik seperti issu rasisme, fasisme, kebijakan luar negeri Amerika, bahkan saya menganggap jika gerakan ini mereka ada kecenderungan berhasil bisa saja bahasa propaganda awalnya Kill the Richbisa berubah menjadi Die For The Government” salah satu lagu paling terkenal dari Grup Band Anti Flag ini, yang menganggap mati untuk pemerintah itu adalah kesialan. 

Ya memang terlihat bahwa ideologi kelompok punk ini sangat kuat adalah anarkisme. Anarki berarti tanpa ada yang memerintah. Tidak ada yang berhak mengatur, kecuali diri mereka sendiri yang mengerti batasannya. Dan menurut kelompok Punk ini, kebebasan yang mereka lakukan tersandera oleh Negara karena aturan sosial budaya politik dan hukum.  Namun, jika membaca sejarah Anarkisme di Indonesia kita bisa melihat jauh kebelakang nama Dauwes Dekker, seorang tokoh anarkisme yang juga ikut didalam membantu perjuangan kemerdekaan Indonesia. 

Dauwes Dekker sendiri dikenal dengan nama pena Multatuli, yang mempelopori gerakan anti kolonial Hindia Belanda. Novel Max Havelar yang ditulis oleh Multatuli adalah karya yang mendunia dijaman kolinialisme dan membuka aib permerintahan Hindia Belanda terhadap wilayah koloninya. Buku tersebut merupakan panduan untuk melakukan perlawanan dan bagaimana cara mengerti tentang sistem tanam paksa yang dilakukan oleh kolonialisme Belanda yang bekerjasama dengan feodalisme pribumi yang sangat menindas rakyat dengan system tanam paksa tersebut. 

Novel Max Havelar ini kemudian dianggap menjadi buku yang paling menginspirasi sehingga kolonialisme Belanda menghapus system tanam paksa dan mengubahnya menjadi Politik Etis. Kelompok yang ditangkap di Jakarta dan Bandung kemarin sepertinya kelompok yang tidak belajar kepada sejarah, bukan malah memperlihatkan bagaimana melepaskan rakyat seperti sejarah anarkisme politik yang dicontohkan oleh Multatuli tapi malah menjadikan situasi ini seperti nyala api dan tindakan kriminal. 

Saya jadi ragu mereka yang dituduh Anarko itu sambil melakukan ujaran kebencian dan tindakan kriminal belum mengerti cita-cita Max Havelar sebagai pelopor ajaran Anarkisme di Indonesia pada masa kolonialisme. Bahkan Pramudya Ananta Toer  menulis artikel yang diterbitkan dalam bahasa Inggris sebagai “Best Story; The Book That Killed Colonialism” di New York Times, 18 April 1999 untuk memuji Multatuli sebagai Buku yang membunuh Kolonialisme, lantara buku tersebut membuat pemerintahan Hindia Belanda membangun irigasi, migrasi antar pulau, dan pendidikan saat itu. 

Bahasa propaganda yang dalam aksi vandalisme tersebut sangat jauh dari nilai-nilai anarkisme ajaran Multatuli. Bahkan mengajak untuk membunuh saudaranya sendiri ditengah pandemik global yang belum jelas kapan berakhirnya. Dalam penjelasan Robert Dahl soal Anarkisme, teori Filsafat anarkisme itu percaya bahwa karena Negara itu menindas dan karena penindasan pada hakikatnya tidak baik, maka Negara pada dasarnya jahat; dan selanjutnya Negara dapat dihilangkan sebagaimana setiap kejahatan yang tidak diperlukan itu harus dihilangkan dengan jalan menggantikannya dengan perkumlan-perkumpulan sukarela. 

Memang pandangan seperti ini berbeda pandangan jauh dengan Demokrasi, karena dianggap jauh lebih tidak terpadu misalnya dari pemikiran William Godwin, Kropotkin, Mikhail Bakunin, Proudhoun dan lain-lain yang menyodorkan gagasan mengenai Anarkisme yang menganggap Negara tanpa penguasa. Memang terkesan purba jika menghadirkan kembali percakapan terhadap kelompok oposisi terhadap eksistensi Negara misalnya  kelompok anarkisme. Tapi yang terjadi di Jakarta dan Bandung, sungguh saya melihat mereka seperti bukan berasal dari kelompok anarkis ideologis, namun Cuma sekedar kelompok sempalan yang mungkin bisa saja berada dalam “perintah” atau “bayaran” belaka. Kita tidak pernah lepas dari issu pembangkangan kelompok terhadap Negara belakangan ini, ada isu komunis, isu pendirian Negara khilafah, isu kelompok terror seperti ISIS, Isu kelompok criminal dan bersenjata seperti Organisasi Papua Merdeka (OPM) sampai isu gerakan radikalisme dibeberapa daerah yang ada di Indonsia. 
Share:

5 comments:

  1. terimakasih atas tulisan yang sangat bermanfaat ini, akhirnya saya lebih memahami apa itu anarki yang berbeda jauh dari pandangan saya.....semoga semakin banyak tulisan seperti ini,supaya kita tidak melihat hidup dari teleskop palsu lagi

    ReplyDelete
  2. Menarik sekali, anarkisme yang kini sudah dianggap sebagai salah satu tindakan kriminal dikarenakan banyaknya oknum yg mengaku paham akan konsep anarkisme lantas bertindak bodoh seperti melakukan vandalisme dan propaganda di masyarakat. Konsep anarkisme yang mereka paham jauh dari konsep anarkisme yg pernah dipaparkan oleh Dauwes Dekker yang melawan kolonial melalui tulisannya. -gilang aiman

    ReplyDelete
  3. Mati untuk pemerintah adalah kesialan.
    -kill the rich-

    ReplyDelete
  4. Saat membaca tulisan diatas sngat mnarik untuk dipahami dimana dalam essai geoger orwel yang berbicara tentang bagaimana dia menyebut simiskin merupakan seputar penyakit ,kemanusiaan,kotor dan lain lain.anggapan bahwa si miskinlah yang membawa penyakit sudah dikenal sejak tahun 1665 di London saat terjadinya wabah. Pandangan ini memang memicu kontroversi karena terkesan menempatkan masyarakat miskin pada posisi tertuduh. Pada posisi sebagai sumber penyakit.
    Terlepas dari fakta bahwa justru COVID-19 menyebar luas karena mobilitas antar negara. Dan kita tahu sama tahu, masyarakat kelas mana yang punya privilese mobilitas tinggi macam itu. Apakah masyarakat miskin sanggup bepergian pulang-pergi ke luar negeri? Atau sekadar punya koneksi gandeng sana-sini dengan warga negara asing? Kita tahu, bahwa COVID-19 tentu berbeda dengan kasus wabah bubonic yang menyerang Eropa pada abad pertengahan.Covid di indonesia semakin bertambah banyak,tidak pandang bulu,tenaga medis,guru,anggota dewan,artis,menteri semuanya bisa kena,memang masyarakat marjinal memang jauh dari aspek-aspek utama yang berguna dalam bertahan hidup di tengah wabah. Pertama, yaitu aspek kesehatan. Di mana masyarakat miskin amat jauh jaraknya dari akses kesehatan. Akses di sini bukan jangkauan secara geografis, tetapi lebih daripada jangkauan secara ekonomis.Dan kedua, adalah aspek literasi atau pendidikan. Masyarakat miskin menjadi makin terasing karena tidak teredukasi untuk menjangkau setiap kebijakan kesehatan.

    ReplyDelete

About Me

My photo
Diri Umar Bakri. Pengoleksi Buku lapuk. Peminum Kopi Kapal Api. Berusaha melancongi imajiner tiap waktu.

Pengunjung Blog

Followers

"Buku harus dijadikan kapak untuk memecah lautan beku dalam diri kita" #Franz Kafka