"Buku harus dijadikan kapak untuk memecah lautan beku dalam diri kita" #Franz Kafka

Populisme Isu PKI; Sindrom Fomo Pilpres 2024


Gambar dari Google : FPLP (Oraganisasi Perlawanan Rakyat Palestina) Berideologi Komunis


Motif Populisme dan Kanibal Politik

Akhir akhir ini, seiring dengan berita wabah C.19 sejak awal maret yang kian menghawatirkan publik, di ruang-ruang pribadi sosial media seperti whatsapp masuk info silih berganti soal kekejaman Partai Komunis Indonesia, sejarah kelam bangsa Indonesia dalam sistem politiknya. Isu ini tiba-tiba menguat bersamaan dengan wabah C.19, entah apa motifnya lantaran kita tahu bahwa isu PKI merupakan isu tahunan yang pasti akan muncul tiap bulan September, lantaran diberi nama sebagai politik ingatan G30S/PKI yang berarti gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia, namun setelah reformasi istilah G30S/PKI berubah menjadi G30S, ada juga menamai gerakan ini sebagai Gestapu atau Gerakan September Tiga Puluh, kalau Presiden Soekarno menamainya dengan Gestok, Gerakan Satu Oktober.

 

Kita tentu berfikir ini masih bulan Mei, bahkan isu ini diproduksi sejak awal maret 2020 bersamaan dengan wabah C.19. Mungkin kelompok ini ingin memberi stigma geografis sekaligus bahwa wabah C.19 ditengarai berasal dari China, dan Isu PKI juga menjurus kepada China. Saya sendiri menduga kearah sana sehingga fixed satu paket seolah-olah ini semua adalah perbuatan China dan publik Indonesia sepertinya akan dibuat untuk menyamakan PKI dan China, satu suara satu paduan suara, kelompok penekan dan kelompok kepentingan memang adalah hal yang biasa terjadi dalam peta politik dalam suatu negara tertentu, mau terlihat konsisten dengan sikap sampai yang tidak konsisten pun semua ada dalam aktivitas politik yang begitu terbuka di jaman sekarang.

 

Stigma yang cukup mengandung pertamax untuk kembali membakar konflik identitas dan trauma yang besar dan mahal. Saat pilkada DKI Jakarta kemarin, begitu massivnya serangan kepada PKI oleh para Elite, diantaranya elite agama, elit Lembaga besar sampai elite Lembaga agama yang berlindung di belakang negara. Ketokohan dan status elite yang melekat pada dirinya merupakan minyak pelumas untuk mengokohkan populisme isu PKI yang diproduksi melalui media-media daring sehingga populisme isunya pun menjadi click bait bagi publik. Walau diantara mereka kebanyakan membuat narasi sejarah PKI macam-macam cenderung Hoax dan hanya untuk kepentingan memanaskan mesin pilkada sehingga menjaring orang-orang yang termakan populisme isu tersebut. Katakanlah misalnya tokoh elit agama seperti Ustad akhir zaman yang mengkampanyekan “Revolusi Komunis” yang diramal akan terjadi saat 2019 kemarin yang dalangnya adalah komunis dari China, warga jakarta akan disembelih dan mayatnya akan dibuang ke laut, seperti itu isi ceramahnya.

 

Terlalu banyak narasi yang berkembang tanpa pengetahuan yang berarti, narasi seperti ini tidak dapat dibenarkan, sehingga publik awam begitu mudah membenarkan, mengikuti, bahkan meyakini hal yang tidak benar. Klaim-klaim populisme seperti ini sebenarnya salah sasaran lantaran tidak melakukan kritik yang betul-betul objektif, hanya berisikan propaganda dan agitasi dan pembunuhan karakter. Jika kelompok penekan mempunyai wajah politik seperti ini maka demokrasi tidak akan berjalan sebagaimana mestinya, yang ada adalah pembodohan dalam sistem politik berlatar belakang identitas dan memperlebar jarak dan menimbun bara yang akan membakar suatu waktu jika sudah tidak bisa dicegah, kita bahkan melihat beberapa kali alienasi politik membuat publik menjadi hilang kontrol.

 

Demonstrasi berujung anarkisme, vandalisme sampai perusakan ruang publik karna tidak menerima hasil keputusan yang dirasa merugikan kelompok tertentu atau golongannya. Ya, ini pemandangan biasa kita lihat dalam negara Indonesia, kebanyakan bermain pada level golongan, kelompok, komunitas, bahkan hal seperti ini tidak selesai malahan tambah subur menghiasi arena politik kita sampai hari ini, feodalisme, oligarki level nasional, lokal sampai internasional bermain dalam satu garis atau berkompetisi dalam satu garis kebijakan dan keuntungan yang berputar pada wilayah eksekutif, legislative sampai yudikatif, apakah produk kebijakan yang dihasilkan oleh lembaga ini menyokong para oligarki lewat pengesahan undang-undang atau malah sebaliknya, undang-undang yang disahkan malah membuat rakyat semakin kehilangan pegangan, hak atas kesejahteraan dan properti. Populisme yang dimulai dari atau yang dimanfaatkan oleh elit untuk menebar retorika politik akan memberi pengaruh yang cukup signifikan lantaran elit adalah pola dan siklus issu bermain untuk melihat skenario yang berlaku pada level pusat, lembaga pemerintahan sampai pengaruh di daerah. Jika ini berjalan tentu propaganda skenario seperti Isu PKI yang seolah api yang tertiup angin semakin besar dan menjulang. Muncul dibeberapa media, seminar atau yang keren sekarang adalah webinar, mulai ditingkatan kampus, kepentingan politik menjelang pilkada sampai menggunakan pembicara mewakili aparat negara secara bersamaan berbicara mengenai hantu komunis.

 

Tidakkah kita sadar, Isu PKI yang disebar berbanding lurus dengan kacamata Orde Baru. Berbicara Komunis, mestilah berbicara Orde Baru. Apa jangan-jangan kita akan diperhadapkan dengan kebangkitan Orde Baru? Mengingat korban akibat pembantaian PKI atau pembunuhan terhadap orang yang terafiliasi PKI atau tertuduh PKI bersalah atau tidak berlangsung sepanjang tahun 1966 sampai tahun 1967 korbannya mencapai kurang lebih 500 ribu korban sampai dengan 3 juta jiwa berdasarkan data pencari fakta komnas HAM. Siapa yang bertanggung jawab akan pembantaian sebanyak itu? Kebanyakan yang menjadi korban adalah orang yang sebenarnya tidak tahu-menahu soal komunisme. Apalagi kenal yang namnya Aidit, Mao Tse-Tung, atau Gestapu. Sebagian petani anggota BTI (Barisan Tani Islam) misalnya, ikut bergabung karena organisasi itu menyuarakan keluhan mereka, atau karena mereka mengira Sukarno adalah ketuanya, atau (seperti yang dilaporkan Aceh), karena mereka diberi tahu bahwa itu dalah kepanjangan dari Barisan Tani Islam. Dalam situasi anarki dan dengan orang-orang yang haus darah yang menyapu Jawa, Bali, dan sebagian Sumatera Utara, mereka yang terlibat dalam pembunuhan itu tidak dihukum, dan banyak kejahatan juga dilakukan walaupun hamper tidak ada kaitannya dengan komunisme. Sengketa tanah paling sering menjadi penyebab dendam di daerah pedesaan, namun banyak isu lain yang juga “dibereskan”. Di Bali, misalnya sebuah laporan mengungkapkan pembunuhan 16 anggota keluarga pendeta yang merupakan musuh dari penguasa (Dewa Agung) selama beberapa generasi. (Anthoni Reid, 2018; 238).

 

Momen seperti inilah yang diinginkan oleh sebagian kanibalisme politik dengan cara mengorek luka lama bukan karena sebagai penanda akan tetapi mencari keuntungan jika negara dalam keadaan tidak maksimal dan genting sehingga aktifitas kanibal politik bias saja terulang seperti pembantaian PKI dengan dalih menuduh seseorang terafiliasi dengan PKI. Para kanibal politik seperti ini memungkinkan untuk mengulangi kembali sejarah perang saudara yang sebenarnya tidak perlu terjadi akan tetapi nafsu dan haus darah yang menyebabkan seseorang bisa berfikiran untuk membunuh dengan trauma sejarah yang sebenarnya mereka juga tidak pahami persis watak, corak dan kejadian yang melatarbelakangi, hanya berdasar isu populisme yang digembar gemborkan oleh beberapa elite yang tidak bertanggung jawab dan menjadi benalu dalam demokrasi dan sistem politik yang sejatinya rakyat berhak tahu yang sebenarnya akan tetapi proses tersebut cacat dan mengeksploitasi suara-suara publik yang pragmatis. Wajah-wajah pragmatism dalam politik sangat mudah kita jumpai, mulai wajah aktifis yang dikelola oleh kelompok tertentu sampai membuat gerakan massif atas isu tertentu sampai dengan wajah para “politisi” yang memang bersuara atas kehendak partai dan kelompok berikut golongan ketika berbicara soal pola pengambilan keputusan, dan beberapa riwayat pernyataan yang pro kontra dengan sikap sebelumnya yang meninggalkan jejak digital politik.

***

 

Sindrom Fomo Pilpres 2024

Celakanya kanibalisme politik serta wajah pragmatisme yang cenderung cacat dan mengeksploitasi terangkum dalam sifat atau sindrom FOMO (Fear of Missing Out), semacam gejala kecemasan sosial yang berlebih lantaran tekanan berita, informasi yang telah lama belum memenuhi aspek pemahaman dan keterampilan mengolah data sehingga mengakibatkan seseorang ingin menjadi sesuatu atau ingin terlibat atau ingin mendapatkan yang belum didapatkan seperti yang orang lain dapatkan, semacam takut tertinggal sesuatu, maka jangan heran kita-kita semua pasti akan disibukkan oleh aktifitas seseorang yang kerjanya di depan layar untuk menyebar berita yang sama sekali tidak mengerti akan narasi, diksi sampai isi berita atau informasi, hanya berbekal menyebar informasi agar dianggap sebagai “pahlawan”, Brengsek!!!  Sindrom FOMO (Fear of Missing Out) juga disampaikan oleh Yuval Noah Harari dalam bukunya Homo Deus (Yuval NH, 2015; 416). Menurutnya kemanusiaan modern takut sangat ketakutan ketinggalan dan itu adalah penyakit mental dan lucunya gelombang besarnya terjadi pada masyarakat yang Yuval sebut sebagai masyarakat WEIRD (Western, Educated, Industrialized, Rich, and Democratic) semacam pola contoh masyarakat barat, terdididik, terindustrialisasi, kaya, dan demokratis yang potensi mendapatkan penyakit kejiwaan sindrom FOMO. Kita pun juga sering mendapatkan bagaimana hoax diproduksi oleh orang-orang “masyarakat WEIRD” ini, tentu sesuatu yang tidak disangka-sangka, apalagi terdidik. Inilah yang menggejala saat ini, dimana mereka sebagai tokoh pun mengalami sindrom WEIRD tapi terlihat seperti biasa, namun memainkan peran propaganda yang luar biasa, utamanya ditemukan menjelang pesta demokrasi atau sekedar memainkan peran sebagai patron politik, terlepas posisi sebagai oposisi ataukah koalisi yang beroposisi, dalam politik sudah biasa terjadi.

 

Sindrom FOMO ini ternyata menggejala dan mengantarkan setiap “manusianya” yang terlibat untuk segera memenuhi segala macam serangan tanpa henti dengan menghiasi perebutan kursi kekuasaan 2024. Kebanyakan akan kita lihat kembali bagaimana Pilpres 2024 seperti halnya pilpres 2019 yang sedikit banyak mengcopy paste berbagai macam sindrom politik seperti pemilu pertama 1955, dimana begitu tumbuh suburnya politik dan konflik identitas, tumbuh suburnya jualan agama dan ayat ayat suci untuk menggalang suara dan kekuatan politik arus bawah sambil menjelek-jelekkan identitas lain, walau sebenarnya pemilu 1965 dianggap pemilu pertama yang cukup sukses tapi disini letak bibit politik dan konflik identitas dan sejarah konflik kepartaian meninggalkan jejak yang belum selesai. Perang karikatur, perang diksi, sampai baku serang dalam media sudah bukan hal yang biasa namun sudah menjadi hal luar biasa dengan gagah-gagahan menampilkan diksi, karikatur dan serangan konflik identitas, seperti diksi kafir, kabinet poligami, lapangan onta, kelompok radikalisme, sampai dengan diksi surga dan neraka bertaburan dimedia maupun aksi pidato, orasi maupun kampanye. Seperti tidak ada beda, gelombang konflik identitas tiap hari kita saksikan saat ini terlebih saat pilpres 2019 yang juga banyak meninggalkan bekas luka bagi yang kalah sehingga sindrom FOMO tersebut juga seolah-olah terverivikasi menuju pilpres 2024. Yah, setiap hari mulai saat ini kita akan menemui diksi-diksi konflik identitas seperti pemilu 1955 agar menjadi cermin bagaimana pola pilpres 2024 terjadi.

 

Sisa-sisa konflik pilpres 2019 memang masih terasa, dikarenakan beberapa kelompok yang berhasil membawa isu pendelegitimasian Lembaga negara dalam mengelola pesta demokrasi. Misalnya tidak mengakui Lembaga negara penyelenggara pilkada atau pilpres seperti Komisi Pemiihan UMUM mulai perangkat kepanitiaan seperti saksi, petugas pemungutan suara sampai ditingkatan pemilihan dianggap tidak dipercaya oleh sebagian publik terlebih jika dikaitkan pro kontra dengan kematian petugas pemungutan suara dengan dalih atau tuduhan diracun dan lain sebagainya. Ketidak percayaan ini kemudian berlanjut pada sidang Mahkamah Konstitusi yang digelar secara Live Nasional dan disaksikan oleh seluruh mata warga Indonesia namun masih dianggap juga cacat oleh sebagian publik dikarenakan faktor data KPU dari website yang mengelola data suara dari Form C1 dianggap ada permainan, padahal KPU sudah melakukan transparansi pengelolaan data dan suara agar dilihat lebih jelas oleh publik dan bisa dikontrol secara bersama-sama, sebagai wujud strategi kebijakan publik seperti dalam filosofi, cahaya matahari adalah pembunuh kuman terbaik, segala hal yang berada dalam kegelapan, kita bawa ke tempat terang benderang dan di bawah kontrol semua orang begitu kira-kira maksud dalam narasi transparansi, namun espektasi soal transparansi tersebut juga belum bisa memuaskan sebagian publik. Pendeligitimasian Lembaga negara seperti ini ternyata masih berkembang sampai sekarang, itu adalah resiko bagaimana “sebagian publik” yang masih tidak percaya kepada asas penyelenggara juga perlu mendapat ruang dalam wilayah demokrasi mulai dari yang masuk akal sampai yang tidak masuk akal ruang perdebatan selalu muncul untuk saling berargumen dan memilih perannya masing-masing.

***

Saya bertentangan dengan orang-orang yang ingin menjadikan saya

“seseorang atau sesuatu”. Sementara saya ingin tetap menjadi diri sendiri

[Onghokham]

 

Share:

1 comment:

  1. Melihat situasi yang saling tumpah tindih, berita satu dengan yang lainnya saling membenarkan apa yang yang diberitakannya, media online yang beribu kali menulis objek berita yang menarik untuk dibaca seperti halnya media online yang yang menulis judul berita yang seksi tetapi memberikan isi dan makna berita yang berujung untuk saling menyalahkan dan lebih kepada hoax, media berita yang lebih mengejar popularitas dari pada menyajikan beita yang aktual dan real. melihat Covid-19 dan melihat menjelang PILKADA sampai ke PEMILU 2024 sudah diberitakan secara hangat. lantas bagaimana cara kta untuk menganilis fakta berita yang benar-benar sahih akan berita yang di disajikan apalagi di tengah-tengah situasi yang hancur ini. saya merasa bagaikan anak bayi yang tidak tau apa-apa melihat berita yang rame sana sini tapi tidak paham dengan maksud dari situasi ini.

    ReplyDelete

About Me

My photo
Diri Umar Bakri. Pengoleksi Buku lapuk. Peminum Kopi Kapal Api. Berusaha melancongi imajiner tiap waktu.

Pengunjung Blog

Followers

"Buku harus dijadikan kapak untuk memecah lautan beku dalam diri kita" #Franz Kafka