"Buku harus dijadikan kapak untuk memecah lautan beku dalam diri kita" #Franz Kafka

Dinamika Politik Pemilu Serentak (Pertama) 2019 ; Politik Perburuan Kekuasaan dan Konsolidasi Gagal Partai Baru



 
Antara Genealogi dan Cacat Epistemologi

        Pemilu serentak 2019 merupakan implementasi dari amar Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 14/PPU-X/2013,[1]. MK Memutuskan bahwa penyelenggaraan pemilihan umum presiden dan wakil presiden, serta pemilihan umum legislative (pusat dan daerah) dilaksanakan secara serentak mulai tahun 2019. Hal ini memunculkan berbagai penafsiran akan system yang akan dibangun berdasar pada keputusan MK tersebut, karena dalam amar putusannya Mahkamah Konstitusi hanya menyebutkan soal penyelenggaraan pemilu serentak antara pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD dan pemilu presiden-wakil presiden. Sementara pemilihan kepala daerah tidak disebutan secara jelas kedudukannya.[2] Konstruksi tersebut tentu menjadi pertimbangan yang rasional dalam hal penyelenggaraan demokrasi 5 tahunan yang ada di Indonesia.

Orientasi pemilihan serentak merupakan objektifikasi hubungan dan kedudukan fungsional kelembagaan Negara antara yudikatif, eksekutif dan legislatif sebagai sarana dalam penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis. Pemilu serentak 2019 merupakan pemilu serentak pertama yang dilaksanakan sepanjang sejarah pemilihan umum yang ada di Indonesia. Hasil dari pemilu yang serentak ini tentu akan memperkuat posisi Negara dalam kedudukan sistem kongresional atau sistem presidensial yang dianut oleh Indonesia sebagai Negara yang berasaskan demokrasi melalui pemilihan umum. Dalam hal ini transformasi sistem kepemiluan yang kemudian berubah sejak 2004 dimana pemilu saat itu adalah pemilihan langsung dimana tahun tersebut adalah tonggak sejarah demokrasi pasca reformasi rakyat berhak,mempunyai hak untuk memilih secara langsung presiden dan wakil presidennya. 2004 dan 2019 adalah momentum transformasi sistem kepemiluan yang ada di Indonesia yang kemudian menjadi tonggak penyelenggaraan prinsip demokrasi dimana melibatkan rakyat untuk langsung dan terlibat dalam memilih kepala negaranya.

Harapan Pemilihan umum 2019 yang dilaksanakan secara serentak juga dianggap akan menggunakan APBN Negara terbatas atau bisa dihemat dari pemilu sebelumnya tahun 2016, namun dana yang telah dihabiskan saat pemilihan umum serentak mencapai 24,6 Trilyun jumlah yang terbilang besar untuk kontestasi yang diakhir perjalanan oposisi memilih untuk bergabung dalam partai koalisi, sesuatu yang menurut hemat penulis “melanggar” etika demokrasi. Kenapa harus menghabiskan 24,6 Trilyun jika pada akhirnya tidak ada penyeimbang demokrasi berupa oposisi dalam suatu pemerintahan. Negara tidak stabil, korporasi-korporasi swasta akan mengendalikan pemerintah dan bergonta-ganti peran di sektor dan bidang yang sama, akhirnya terjadi mekanisme sistematik akhirnya demokrasi cacat epistemologi tapi tak terlihat lantaran timpangnya demokrasi tanpa oposisi.

 

Politik Perburuan Kekuasaan

Sejak pemilu serentak 2019, konflik identitas, kebangkitan populisme begitu tajam lantaran kubu pasangan yang merupakan entitas dari partai politik dan oligarki bermain pada ranah yang sangat konfrontatif dan bermain disegala medan politik mulai di akar rumput sampai pada gerakan sosial media yang banyak melanggar asas kepatutan sehingga opini, fabrikasi hoak dan pelanggaran UU ITE sudah menjadi cirri dari pilpres 2019 yang begitu bebas dan tak terontrol.

 Fenomena kebangkitan populisme tersebut tidak terkecuali bagi Indonesia. Populisme di Indonesia kontemporer ditandai dengan munculnya persaingan dua politisi populis sejak Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 antara Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto. Pada saat itu, Prabowo menunjukkan gelagat populisme bersifat ultra-nasionalis dan konfrontatif yang ingin mengembalikan Indonesia pada kejayaan masa lalu dalam pandangan negara korporatis, sedangkan Jokowi menampilkan populisme pragmatisme nir-ideologis dan teknokratis dengan tetap merujuk pandangan nasionalisme kerakyatan, dimana politik populis dikombinasikan antara pengalaman teknokrasi dan komunikasi langsung ke akar-rumput.[3] Terlihat bahwa ideologi dan populisme terjadi benturan yang begitu keras bahkan sisa-sisa benturan itu kemudian membatu pada kelompok pendukung masing-masing sampai sekarang walau pada hakikatnya Prabowo sudah bergabung dalam kelompok koalisi. Politik perburuan kekuasaan terjadi jelas didepan mata publik para elite parpol mendesak, untu mendapatkan jatah kekuasaan sampai konsolidasi tingkat elit parpol dimana Partai Prabowo, Partai Gerindra merupakan partai urutan ke 3 (tiga) dengan perolehan kursi terbanyak di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Tentu kita tidak akan melihat gesekan politik yang berarti ketika ada semisal Rancangan Undang-Undang yang diajukan oleh pemerintah kepada parlemen karena semua kursi diborong oleh pemerintahan. Katakanlah rancagan undang undang Omibus Law yang mendapat dukungan dari 7(Tujuh) partai politik koalisi pemerintah diantaranya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Amanat Nasional dan Partai Persatuan Pembangunan. Sementara yang menolak hanya Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrat (PD). Kontroversi Undang Undang ini dengan segala pro kontra dimata publik juga menjadi kebijakan yang tanpa kesulitan berarti dalam pengesahannya, alamat lampu kuning demokrasi di Indonesia dimana parlemen dikuasai oleh kelompok partai pendukung pemerintah.


Konsolidasi Gagal Partai Baru

Peserta pemilu dalam pemilu serentak 2019 yang berjumlah 16 partai, ternyata mampu menghasilkan demokrasi yang begitu ramai pada tingkatan elit sampai akar rumput, karena hasil pemilu serentak 2019 hanya menyisakan 9 partai yang lolos ke senayan, sehingga atmosfer politik sepanjang 2019 tidak terjadi gesekan politik berarti di gelanggang parlemen dalam setiap pembahasan rapat paripurna sampai dengan pembahasan Rancangan undang-Undang. Terkecuali partai Hanura yang memang secara mengejutkan tidak lolos ke senayan setelah dua periode berurut sejak 2014 sampai dengan 2019 dan juga partai Bulan Bintang yang juga gagal meraih tiket ke senayan, walau dalam sejarah partai bulan bintang adalah partai penerus Masyumi yang pernah Berjaya pada Orde lama saat pemilu 1955 dengan keluar sebagai pemenang suara terbanyak ke dua setelah PNI.

Hasil Pemilu 2019 mempertahankan posisi dominan pada partai-partai lama, sementara partai baru semua gagal menempatkan wakilnya di DPR-RI.[4] Hanya 9 (Sembilan) partai politik yang lolos dan berhasil mendudukkan wakilnya di parlemen pusat sementara ke 7 (tujuh) partai lainnya gagal lantaran perolehan suara yang menjadi syarat ambang batas adalah 4%. Ini berarti bahwa konsolidasi partai-partai baru ini untuk masuk parlemen dan menjadi oposisi juga semakin kecil pengaruhnya di pusat. Partai baru butuh perjuangan lebih keras dan konsolidasi lebih tajam sampai mendapat porsi kurang lebih 6 juta suara atau setara dengan 4%, ditengah maraknya politik uang, klientalisme dan pertarungan kuasa oligarki politik. Demokrasi tiap 5 tahun dipertaruhkan bahkan sampai puncak konflik identitas dan hak asasi manusia.

 

 

Daftar Pustaka

 Buku

Jurdi, Syarifuddin. Pemilihan Umum Di Indonesia; Tata Kelola Pemilu, Kedaulatan Rakyat dan Demokratisasi, Jakarta : Kencana-Prenada Media Group, 2020.

 Jurnal

Margiansyah, Populisme Di Indonesia Kontemporer: Transformasi Persaingan Populisme Dan Konsekuensinya Dalam Dinamika Kontestasi Politik Menjelang Pemilu 2019,  Jurnal Penelitian Politik Vol. 16. No. 1, Juni 2019.

Peraturan Perundang-Undangan

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013

 

 

 

 



[1] Putusan ini dibacakan oleh Mahkamah Konstitusi pada 23 Januari 2014, sekitar 3 (tiga) bulan lebih sebelum penyelenggaraan pemungutan dan penghitungan suara Pemilu 2014

[2] Syarifuddin Jurdi, Pemilihan Umum Di Indonesia; Tata Kelola Pemilu, Kedaulatan Rakyat dan Demokratisasi, (Jakarta : Prenada Media Group, 2020)

[3] Marcus Mietzner, “Reinventing Asian Populism: Jokowi’s Rise, Democracy, and Political Contestation in Indonesia” East-West Center (2015), JSTOR, https://www.jstor.org/stable/ resrep06525. Dalam Defbry Margiansyah, Populisme Di Indonesia Kontemporer: Transformasi Persaingan Populisme Dan Konsekuensinya Dalam Dinamika Kontestasi Politik Menjelang Pemilu 2019,  Jurnal Penelitian Politik Vol. 16. No. 1, Juni 2019

[4] Syarifuddin Jurdi, Pemilihan Umum Di Indonesia; Tata Kelola Pemilu, Kedaulatan Rakyat dan Demokratisasi, (Jakarta : Prenada Media Group, 2020)

Share:

0 Comments:

Post a Comment

About Me

My photo
Diri Umar Bakri. Pengoleksi Buku lapuk. Peminum Kopi Kapal Api. Berusaha melancongi imajiner tiap waktu.

Pengunjung Blog

Followers

"Buku harus dijadikan kapak untuk memecah lautan beku dalam diri kita" #Franz Kafka