"Buku harus dijadikan kapak untuk memecah lautan beku dalam diri kita" #Franz Kafka

Kehadiran Kembali ; Wujud “purba” Sainsosialism

Ilustrasi

Sebelum huru-hara awal 2020 ini terjadi, re; covid19. Dunia disibukkan dengan pementasan tekhnologi tingkat tinggi dan perang dagang yang angkuh. Dimulai dari perlombaan senjata hypersonic yang baru baru saja diakhir tahun 2019 antara Negara Rusia, Amerika Serikat dan China. Ke tiga Negara besar ini selalu mempunyai “efek kejut” bagi Negara lainnya dan analisis perang dunia seolah sudah ada di depan mata dengan adanya tanda-tanda perlombaan senjata yang tidak main-main penciptaannya dengan menggunakan kecepatan suara, tekhnologi perang yang mampu menghancurkan kota dalam hitungan menit. Seolah olah dunia berputar kepada tiga Negara adidaya tersebut. 

Aroma perang dingin 73 tahun silam masih sangat menimbulkan bau mesiu dan ketegangan tiap saat. Perang yang lebih mengesankan sebagai pertempuran ideologi sosialisme komunis dikenal Blok Timur yang dikomandoi Uni Soviet melawan Ideologi Liberal kapitalis disebut Blok Barat yang digawangi oleh Amerika Serikat. Bahkan sampai sekarang ideologi bukan lagi menjadi suatu persaingan nyata tapi ideologi sudah menjelma dan melekat pada ilmu pengetahuan, tekhnologi, budaya, politik pemerintahan, pertahanan dan keamanan, dunia kesehatan, seni, arsitektur dan tentunya persaingan ekonomi dan pengaruh nilai mata uang. Segala bentuk persaingan ini merupakan persaingan dengan menggunakan kekuatan system Negara dan kekuatan otak rakyatnya. 

Pada beberapa waktu terahir ini, kita merasakan kembali kehadiran Negara Sosialisme yang tiba-tiba juga menjadi pusat perhatian dunia seperti Negara Kuba. Dimana mereka tersebut mengirimkan relawan seperti tenaga kesehatan Dokter dan Perawat berangkat menuju Negara yang diserang pandemik global luar biasa seperti Italia, walau sebelum Italia berangkat Biro departemen Luar Negeri Amerika serikat sudah menuduh duluan Negara Kuba akan menanamkan propaganda di Italia dan mengeksploitasi pekerja perawat kesehatan yang ada di Italia. Sedikit pandangan Von Zlavoc Zizec dalam tulisannya berjudul The End of the World As We Know It” menjelaskan mengenai spekulasi yang sering terdengar hari ini bahwa corona virus dapat menyebabkan jatuhnya pemerintahan Komunis di Cina, dengan cara yang sama bencana Chernobyl adalah peristiwa yang memicu berakhirnya Komunisme Soviet yang terjadi tahun 1986. Tetapi ada paradoks di sini: corona virus juga akan memaksa kita untuk menemukan kembali Komunisme berdasarkan kepercayaan pada orang-orang dan dalam sains. Spekulasi tersebut menurut Zizek ingin dihubung-hubungkan dengan kejatuhan pemerintahan komunisme di China saat ini seperti yang terjadi bencana Chernobil yang mengerikan karena ledakan nuklir dan paparan radiasi yang menyebabkan penyakit kanker tiroid, dan sampai hari ini pun wilayah Chernobyl menjadi kota hantu lantaran masih dimungkinkan radiasi berbahaya itu kemudian masih aktif. 

Spekulasi Chernobyl ini ternyata tidak begitu nyata hubungannya dengan kejatuhan pemerintahan China, malah membuat pemerintahan China menjadi kokoh dan bangkit dengan cepat dikarenakan kekuatan sains dalam bidang kedokteran yang membuat kita harus mengakui negeri tirai bambu ini bukan kaleng-kaleng. Seperti halnya dalam pandangan Yuval Noah Harari dalam tulisannya berjudul “the world after corona virus” saya melihat dunia setelah Pasca Corona, umat manusia akam lebih percaya Saintis ketimbang teori konspirasi yang dibuat oleh pejabat dan media. Inilah masa yang akan membuat lompatan besar kemanusiaan dalam mengelola Saintis dalam kehidupan Individunya masing masing.

Ada kesamaan antara Zizek dan Harari dalam melihat gejala ini, sama-sama melihat bahwa sainstisme bekerja membangun solidaritas global. Solidaritas global inilah yang kemudian menurut hemat Zizek bisa jadi penemuan kembali Sosialisme dalam bentuk yang paling menarik yaitu Saintisme. Saya kemudian berfikir apakah Saintisme akan menjadi sebuah bentuk Ideologi menyamai layaknya Sosialisme dan Kapitalisme yang menguasai peradaban? Tidak sekedar dan semata pendekatan ilmiah saja? Sehingga dalam bahasa Steven Pinker dalam bukunya menjelaskan tentang “pencerahan sekarang juga” membela nalar, sains, humanisme dan kemanusiaan.

Dalam pemahaman Steven bahwa ide-ide yang berkuasa dari setiap zaman pernah menjadi ide-ide dari kelas yang berkuasa. Karl Marx tidak memiliki kekayaan dan tidak memiliki pasukan, tetapi ide-ide yang dia tulis di ruang baca Museum Inggris membentuk jalan abad ke-20 dan seterusnya, yang merenggut nyawa miliaran orang. Itulah zaman yang menurut Steven berkembang, menguasai sesuai dengan ide-ide kelas yang berkuasa sebelumnya. Menurutnya kembali, bahwa sains tidaklah cukup untuk membawa kemajuan, bahwa segala sesuatu yang tidak dilarang oleh hukum alam pasti bisa dicapai, dalam terang pengetahuan yang benar. Pengetahuan tersebut digunakan untuk memaksimalkan perkembangan manusia, kehidupan, kesehatan, kebahagiaan, kebebasan, pengetahuan, cinta, kekayaan pengalaman dapatlah disebut sebagai Humanisme. Itu adalah cita-cita setiap umat manusia di muka bumi ini. 

Namun ada sedikit perbedaan dari “Revolusi Humanis” Yuval Noah Harari, beranggapan bahwa inti dari revolusi religious modernitas bukanlah kehilangan kepercayaan kepada Tuhan; melainkan mendapat kepercayaan pada kemanusiaan. Dan itu butuh kerja keras berabad-abad. Mungkin hari ini,  bumi lelah dengan perang, perang tekhnologi, perang ideology, perang antar bangsa yang hampir melenyapkan manusia dan kemanusiaan, terlebih perang kepentingan dagang yang umurnya semakin purba namun tetap menggejala dalam proses produksi yang baru dari hari ke hari. Kolonialisme bahkan tak pernah bisa melupakan mantan koloninya yang kemudian tetap berjejaring menjadi revolusi koloni abad modern.
Share:

2 comments:

  1. Fenomena seperti ini sangat menarik jika dibahas dalam koridor sosiologis. Wabah covid-19 bahwasanya masyarakat beresiko, masyarakat yang rentan hampir membungkus hampir semua paket konsekuensi (sosial, ekologi, maupun mental). Konsep efek boomerangpun di terangkan dalam tulisan diatas bahwa resiko tidak dibataskan oleh ruang sehingga hampir semua negara di dunia terjebak dalam resiko akibat mobilitas yang tinggi. Konteks politik dan legal formal menjadikan pertanyaan besar ditengah pusaran resiko bagaimna reorganisasi berpihak, kebimbangan yang berulangkali terjadi regulasi lockdwon atau ekonomi negara, krisis SDM atau keselamatan masyarat yang ingin di perjuangkan.

    ReplyDelete
  2. Kosep peradaban yang cukup panjang dalam membahas sebuah jenjang kehidupan di alam semesta ini. Para pendahulu kita yang memperdebatkan sebuah eksistensi diri dan asal dari jagad alam raya sampai ke abad pertengahan yang mewarnai muncul dan berkembangnya ilmu pengetahuan, perlu juga di catat bahwa di abad pertengahan ada tiga yang yang menjadi problem dan bersaing mewarnai abad pertengahan yaitu filsafat, agama dan ilmu pengetahuan. Yang kemudian renaisance muncul sebagai wajah baru sebagai perubahan dan kemunculan atau perang industri yang kemudian banyak tokoh-tokoh besar yang muncul. Mestinya kita tidak akan bisa melupakan peradaban panjang yang akan mewarnai masa sekrang dan yang akan datang. Abad-abad sebelumnya akan mempengaruhnya abad setelahnya dan untuk melihat perkembangan sekarang banyak proses pendekatan yang bisa di pakai seperti sejarah, sosiologi,politik dan lain-lain. Problem yang terjadi sekarang yang akan menjadi catatan di abad kita sekarang ini yang bahwa bukan lagi berperang dengan ilmu pengetahuan, industri atau alat senjata perang tetapi abad kita sekarang di benturkan dengan peprangan yang lebih modern yang biasa di sebut sebagai perang lewat media-media sosial dan pasar ataupun ekonomi yang akan mempengaruhi sebuah negara dan masyarakatnya. Saya juga menunggu tulisan bapak tentang penyebab dari perang kepentingan dangang dan pandangan tentang pengaruhnya.

    ReplyDelete

About Me

My photo
Diri Umar Bakri. Pengoleksi Buku lapuk. Peminum Kopi Kapal Api. Berusaha melancongi imajiner tiap waktu.

Pengunjung Blog

Followers

"Buku harus dijadikan kapak untuk memecah lautan beku dalam diri kita" #Franz Kafka