"Buku harus dijadikan kapak untuk memecah lautan beku dalam diri kita" #Franz Kafka

Populisme Isu PKI; Sindrom Fomo Pilpres 2024


Gambar dari Google : FPLP (Oraganisasi Perlawanan Rakyat Palestina) Berideologi Komunis


Motif Populisme dan Kanibal Politik

Akhir akhir ini, seiring dengan berita wabah C.19 sejak awal maret yang kian menghawatirkan publik, di ruang-ruang pribadi sosial media seperti whatsapp masuk info silih berganti soal kekejaman Partai Komunis Indonesia, sejarah kelam bangsa Indonesia dalam sistem politiknya. Isu ini tiba-tiba menguat bersamaan dengan wabah C.19, entah apa motifnya lantaran kita tahu bahwa isu PKI merupakan isu tahunan yang pasti akan muncul tiap bulan September, lantaran diberi nama sebagai politik ingatan G30S/PKI yang berarti gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia, namun setelah reformasi istilah G30S/PKI berubah menjadi G30S, ada juga menamai gerakan ini sebagai Gestapu atau Gerakan September Tiga Puluh, kalau Presiden Soekarno menamainya dengan Gestok, Gerakan Satu Oktober.

 

Kita tentu berfikir ini masih bulan Mei, bahkan isu ini diproduksi sejak awal maret 2020 bersamaan dengan wabah C.19. Mungkin kelompok ini ingin memberi stigma geografis sekaligus bahwa wabah C.19 ditengarai berasal dari China, dan Isu PKI juga menjurus kepada China. Saya sendiri menduga kearah sana sehingga fixed satu paket seolah-olah ini semua adalah perbuatan China dan publik Indonesia sepertinya akan dibuat untuk menyamakan PKI dan China, satu suara satu paduan suara, kelompok penekan dan kelompok kepentingan memang adalah hal yang biasa terjadi dalam peta politik dalam suatu negara tertentu, mau terlihat konsisten dengan sikap sampai yang tidak konsisten pun semua ada dalam aktivitas politik yang begitu terbuka di jaman sekarang.

 

Stigma yang cukup mengandung pertamax untuk kembali membakar konflik identitas dan trauma yang besar dan mahal. Saat pilkada DKI Jakarta kemarin, begitu massivnya serangan kepada PKI oleh para Elite, diantaranya elite agama, elit Lembaga besar sampai elite Lembaga agama yang berlindung di belakang negara. Ketokohan dan status elite yang melekat pada dirinya merupakan minyak pelumas untuk mengokohkan populisme isu PKI yang diproduksi melalui media-media daring sehingga populisme isunya pun menjadi click bait bagi publik. Walau diantara mereka kebanyakan membuat narasi sejarah PKI macam-macam cenderung Hoax dan hanya untuk kepentingan memanaskan mesin pilkada sehingga menjaring orang-orang yang termakan populisme isu tersebut. Katakanlah misalnya tokoh elit agama seperti Ustad akhir zaman yang mengkampanyekan “Revolusi Komunis” yang diramal akan terjadi saat 2019 kemarin yang dalangnya adalah komunis dari China, warga jakarta akan disembelih dan mayatnya akan dibuang ke laut, seperti itu isi ceramahnya.

 

Terlalu banyak narasi yang berkembang tanpa pengetahuan yang berarti, narasi seperti ini tidak dapat dibenarkan, sehingga publik awam begitu mudah membenarkan, mengikuti, bahkan meyakini hal yang tidak benar. Klaim-klaim populisme seperti ini sebenarnya salah sasaran lantaran tidak melakukan kritik yang betul-betul objektif, hanya berisikan propaganda dan agitasi dan pembunuhan karakter. Jika kelompok penekan mempunyai wajah politik seperti ini maka demokrasi tidak akan berjalan sebagaimana mestinya, yang ada adalah pembodohan dalam sistem politik berlatar belakang identitas dan memperlebar jarak dan menimbun bara yang akan membakar suatu waktu jika sudah tidak bisa dicegah, kita bahkan melihat beberapa kali alienasi politik membuat publik menjadi hilang kontrol.

 

Demonstrasi berujung anarkisme, vandalisme sampai perusakan ruang publik karna tidak menerima hasil keputusan yang dirasa merugikan kelompok tertentu atau golongannya. Ya, ini pemandangan biasa kita lihat dalam negara Indonesia, kebanyakan bermain pada level golongan, kelompok, komunitas, bahkan hal seperti ini tidak selesai malahan tambah subur menghiasi arena politik kita sampai hari ini, feodalisme, oligarki level nasional, lokal sampai internasional bermain dalam satu garis atau berkompetisi dalam satu garis kebijakan dan keuntungan yang berputar pada wilayah eksekutif, legislative sampai yudikatif, apakah produk kebijakan yang dihasilkan oleh lembaga ini menyokong para oligarki lewat pengesahan undang-undang atau malah sebaliknya, undang-undang yang disahkan malah membuat rakyat semakin kehilangan pegangan, hak atas kesejahteraan dan properti. Populisme yang dimulai dari atau yang dimanfaatkan oleh elit untuk menebar retorika politik akan memberi pengaruh yang cukup signifikan lantaran elit adalah pola dan siklus issu bermain untuk melihat skenario yang berlaku pada level pusat, lembaga pemerintahan sampai pengaruh di daerah. Jika ini berjalan tentu propaganda skenario seperti Isu PKI yang seolah api yang tertiup angin semakin besar dan menjulang. Muncul dibeberapa media, seminar atau yang keren sekarang adalah webinar, mulai ditingkatan kampus, kepentingan politik menjelang pilkada sampai menggunakan pembicara mewakili aparat negara secara bersamaan berbicara mengenai hantu komunis.

 

Tidakkah kita sadar, Isu PKI yang disebar berbanding lurus dengan kacamata Orde Baru. Berbicara Komunis, mestilah berbicara Orde Baru. Apa jangan-jangan kita akan diperhadapkan dengan kebangkitan Orde Baru? Mengingat korban akibat pembantaian PKI atau pembunuhan terhadap orang yang terafiliasi PKI atau tertuduh PKI bersalah atau tidak berlangsung sepanjang tahun 1966 sampai tahun 1967 korbannya mencapai kurang lebih 500 ribu korban sampai dengan 3 juta jiwa berdasarkan data pencari fakta komnas HAM. Siapa yang bertanggung jawab akan pembantaian sebanyak itu? Kebanyakan yang menjadi korban adalah orang yang sebenarnya tidak tahu-menahu soal komunisme. Apalagi kenal yang namnya Aidit, Mao Tse-Tung, atau Gestapu. Sebagian petani anggota BTI (Barisan Tani Islam) misalnya, ikut bergabung karena organisasi itu menyuarakan keluhan mereka, atau karena mereka mengira Sukarno adalah ketuanya, atau (seperti yang dilaporkan Aceh), karena mereka diberi tahu bahwa itu dalah kepanjangan dari Barisan Tani Islam. Dalam situasi anarki dan dengan orang-orang yang haus darah yang menyapu Jawa, Bali, dan sebagian Sumatera Utara, mereka yang terlibat dalam pembunuhan itu tidak dihukum, dan banyak kejahatan juga dilakukan walaupun hamper tidak ada kaitannya dengan komunisme. Sengketa tanah paling sering menjadi penyebab dendam di daerah pedesaan, namun banyak isu lain yang juga “dibereskan”. Di Bali, misalnya sebuah laporan mengungkapkan pembunuhan 16 anggota keluarga pendeta yang merupakan musuh dari penguasa (Dewa Agung) selama beberapa generasi. (Anthoni Reid, 2018; 238).

 

Momen seperti inilah yang diinginkan oleh sebagian kanibalisme politik dengan cara mengorek luka lama bukan karena sebagai penanda akan tetapi mencari keuntungan jika negara dalam keadaan tidak maksimal dan genting sehingga aktifitas kanibal politik bias saja terulang seperti pembantaian PKI dengan dalih menuduh seseorang terafiliasi dengan PKI. Para kanibal politik seperti ini memungkinkan untuk mengulangi kembali sejarah perang saudara yang sebenarnya tidak perlu terjadi akan tetapi nafsu dan haus darah yang menyebabkan seseorang bisa berfikiran untuk membunuh dengan trauma sejarah yang sebenarnya mereka juga tidak pahami persis watak, corak dan kejadian yang melatarbelakangi, hanya berdasar isu populisme yang digembar gemborkan oleh beberapa elite yang tidak bertanggung jawab dan menjadi benalu dalam demokrasi dan sistem politik yang sejatinya rakyat berhak tahu yang sebenarnya akan tetapi proses tersebut cacat dan mengeksploitasi suara-suara publik yang pragmatis. Wajah-wajah pragmatism dalam politik sangat mudah kita jumpai, mulai wajah aktifis yang dikelola oleh kelompok tertentu sampai membuat gerakan massif atas isu tertentu sampai dengan wajah para “politisi” yang memang bersuara atas kehendak partai dan kelompok berikut golongan ketika berbicara soal pola pengambilan keputusan, dan beberapa riwayat pernyataan yang pro kontra dengan sikap sebelumnya yang meninggalkan jejak digital politik.

***

 

Sindrom Fomo Pilpres 2024

Celakanya kanibalisme politik serta wajah pragmatisme yang cenderung cacat dan mengeksploitasi terangkum dalam sifat atau sindrom FOMO (Fear of Missing Out), semacam gejala kecemasan sosial yang berlebih lantaran tekanan berita, informasi yang telah lama belum memenuhi aspek pemahaman dan keterampilan mengolah data sehingga mengakibatkan seseorang ingin menjadi sesuatu atau ingin terlibat atau ingin mendapatkan yang belum didapatkan seperti yang orang lain dapatkan, semacam takut tertinggal sesuatu, maka jangan heran kita-kita semua pasti akan disibukkan oleh aktifitas seseorang yang kerjanya di depan layar untuk menyebar berita yang sama sekali tidak mengerti akan narasi, diksi sampai isi berita atau informasi, hanya berbekal menyebar informasi agar dianggap sebagai “pahlawan”, Brengsek!!!  Sindrom FOMO (Fear of Missing Out) juga disampaikan oleh Yuval Noah Harari dalam bukunya Homo Deus (Yuval NH, 2015; 416). Menurutnya kemanusiaan modern takut sangat ketakutan ketinggalan dan itu adalah penyakit mental dan lucunya gelombang besarnya terjadi pada masyarakat yang Yuval sebut sebagai masyarakat WEIRD (Western, Educated, Industrialized, Rich, and Democratic) semacam pola contoh masyarakat barat, terdididik, terindustrialisasi, kaya, dan demokratis yang potensi mendapatkan penyakit kejiwaan sindrom FOMO. Kita pun juga sering mendapatkan bagaimana hoax diproduksi oleh orang-orang “masyarakat WEIRD” ini, tentu sesuatu yang tidak disangka-sangka, apalagi terdidik. Inilah yang menggejala saat ini, dimana mereka sebagai tokoh pun mengalami sindrom WEIRD tapi terlihat seperti biasa, namun memainkan peran propaganda yang luar biasa, utamanya ditemukan menjelang pesta demokrasi atau sekedar memainkan peran sebagai patron politik, terlepas posisi sebagai oposisi ataukah koalisi yang beroposisi, dalam politik sudah biasa terjadi.

 

Sindrom FOMO ini ternyata menggejala dan mengantarkan setiap “manusianya” yang terlibat untuk segera memenuhi segala macam serangan tanpa henti dengan menghiasi perebutan kursi kekuasaan 2024. Kebanyakan akan kita lihat kembali bagaimana Pilpres 2024 seperti halnya pilpres 2019 yang sedikit banyak mengcopy paste berbagai macam sindrom politik seperti pemilu pertama 1955, dimana begitu tumbuh suburnya politik dan konflik identitas, tumbuh suburnya jualan agama dan ayat ayat suci untuk menggalang suara dan kekuatan politik arus bawah sambil menjelek-jelekkan identitas lain, walau sebenarnya pemilu 1965 dianggap pemilu pertama yang cukup sukses tapi disini letak bibit politik dan konflik identitas dan sejarah konflik kepartaian meninggalkan jejak yang belum selesai. Perang karikatur, perang diksi, sampai baku serang dalam media sudah bukan hal yang biasa namun sudah menjadi hal luar biasa dengan gagah-gagahan menampilkan diksi, karikatur dan serangan konflik identitas, seperti diksi kafir, kabinet poligami, lapangan onta, kelompok radikalisme, sampai dengan diksi surga dan neraka bertaburan dimedia maupun aksi pidato, orasi maupun kampanye. Seperti tidak ada beda, gelombang konflik identitas tiap hari kita saksikan saat ini terlebih saat pilpres 2019 yang juga banyak meninggalkan bekas luka bagi yang kalah sehingga sindrom FOMO tersebut juga seolah-olah terverivikasi menuju pilpres 2024. Yah, setiap hari mulai saat ini kita akan menemui diksi-diksi konflik identitas seperti pemilu 1955 agar menjadi cermin bagaimana pola pilpres 2024 terjadi.

 

Sisa-sisa konflik pilpres 2019 memang masih terasa, dikarenakan beberapa kelompok yang berhasil membawa isu pendelegitimasian Lembaga negara dalam mengelola pesta demokrasi. Misalnya tidak mengakui Lembaga negara penyelenggara pilkada atau pilpres seperti Komisi Pemiihan UMUM mulai perangkat kepanitiaan seperti saksi, petugas pemungutan suara sampai ditingkatan pemilihan dianggap tidak dipercaya oleh sebagian publik terlebih jika dikaitkan pro kontra dengan kematian petugas pemungutan suara dengan dalih atau tuduhan diracun dan lain sebagainya. Ketidak percayaan ini kemudian berlanjut pada sidang Mahkamah Konstitusi yang digelar secara Live Nasional dan disaksikan oleh seluruh mata warga Indonesia namun masih dianggap juga cacat oleh sebagian publik dikarenakan faktor data KPU dari website yang mengelola data suara dari Form C1 dianggap ada permainan, padahal KPU sudah melakukan transparansi pengelolaan data dan suara agar dilihat lebih jelas oleh publik dan bisa dikontrol secara bersama-sama, sebagai wujud strategi kebijakan publik seperti dalam filosofi, cahaya matahari adalah pembunuh kuman terbaik, segala hal yang berada dalam kegelapan, kita bawa ke tempat terang benderang dan di bawah kontrol semua orang begitu kira-kira maksud dalam narasi transparansi, namun espektasi soal transparansi tersebut juga belum bisa memuaskan sebagian publik. Pendeligitimasian Lembaga negara seperti ini ternyata masih berkembang sampai sekarang, itu adalah resiko bagaimana “sebagian publik” yang masih tidak percaya kepada asas penyelenggara juga perlu mendapat ruang dalam wilayah demokrasi mulai dari yang masuk akal sampai yang tidak masuk akal ruang perdebatan selalu muncul untuk saling berargumen dan memilih perannya masing-masing.

***

Saya bertentangan dengan orang-orang yang ingin menjadikan saya

“seseorang atau sesuatu”. Sementara saya ingin tetap menjadi diri sendiri

[Onghokham]

 

Share:

Lelaki yang Bergosip Antara Yuval Noah Harari dan Rocky Gerung ; Siapakah yang Paling Fiksi

Ilustrasi

Kembalinya Charles Darwin “bergosip”

Beberapa waktu saya sempat kepikiran dengan seorang tokoh sejarah pemikir baru dalam dunia kepenulisan dengan melahirkan tiga buah buku yang best seller dan tentunya menarik bagi pembaca dunia kesejarahan dan konstruksi dunia baru, dikarenakan sosok buku tersebut menjadi piso analisis untuk segala macam peristiwa yang terjadi pada akhir 2019 dan awal 2020. Buku yang saya maksud adalah “Sapiens ; Riwayat Singkat Umat Manusia”  karya Yuval Noah Harari, seorang ahli sejarah dan Guru Besar di Jerussalem. Merasa kepikiran lantas namanya menjadi rujukan dan “setiap” teman dan kawan diskusi seolah berbicara sosok Yuval, tiba-tiba menjadi “legend” layaknya meteor dukhan yang diperkirakan oleh seorang ustad pakar kiamat yang memprediksi melalui hitung-hitungan manusia akan menabrak bumi dan akan mengakibatkan kekacauan bernama dukhan pada 15 ramadhan lalu, tapi boong (skip). Diawal buku Sapiens ini sudah memulai berbicara mengenai hal revolusi, dengan membagi revolusi menjadi tiga bagian yaitu revolusi kognitif yang terjadi 70.000 tahun silam, revolusi pertanian 12.000 tahun silam dan revolusi sains yang baru berlangsung 500 silam. Revolusi tersebut dianggap sangat berpengaruh pada umat manusia dan makhluk hidup. Yang menarik buku ini kemudian diendorse oleh tiga tokoh besar diantaranya Barrack Obama, Bill Gates dan Pemilik Facebook Mark Zuckerberg juga sempat mengutip dan membandingkan Ibnu Khaldun dalam karya Mukaddimah mengenai buku sejarah. Walau sebenarnya agak mengherankan juga di bab awal sapiens seolah membaca kembali teori Darwin yang membuat heboh tahun 2000an soal manusia berasal dari kera dan Yuval berkata “suka atau tidak suka, kita adalah anggota satu family besar dan sangat berisik yang disebut kera besar”.

Di awal saya merasa bahwa keterkenalan seseorang secara tiba-tiba mungkin butuh proses, ataukah semacam settingan tertentu terhadap ide dan gagasan berupa narasi besar, namun saya melihat ada kecenderungan untuk kembali menjadi “seseorang” yang dahulu telah popular di masanya. Mungkin Yuval Noah Harari seperti ingin menjadi “Charles Darwin” yang popular pada abad ke 18 silam dan mencoba mengulang kepopuleran itu kembali lewat karya Sapiens, beberapa paragraph ditemukan semisal “SEPUPU kita simpanse hidup dalam kelompok-kelompok kecil yang terdiri atas beberapa lusin individu. Mereka membentuk pertemanan yang erat, berburu bersama-sama, dan bertarung bahu membahu melawan babun, citah dan simpanse musuh”.  Kalimat tersebut adalah bentuk penekanan seperti yang saya sebutkan diatas bahwa manusia berasal dari golongan kera besar. Bisa jadi dengan mengulang kembali teori-teori popular bisa menjadikan seseorang menjadi populer apakah mengundang diksi pro maupun kontra. Seperti dalam perkataan Yuval  dengan mencontohkan lagi “simpanse adalah kerabat kita yang paling dekat, enam juta tahun yang lalu, satu kera betina memiliki dua putrid. Yang satu menjadi nenek moyang semua simpanse, yang satu lagi adalah nenek moyang kita.” Jika mengkaji lebih telisik lagi memang kedengaran bahwa perulangan kalimat seperti ini adalah mengulang kepopuleran teori evolusi Charles Darwin yang heboh sampai pada abad ke 20.

Seperti membaca bagaimana kawanan hewan atau binatang seperti simpanse dijelaskan bahwa mereka berkelamin jantan dan betina yang membentuk koalisi di antara anggota-anggota kelompok yang mempunyai hubungan layaknya manusia yang akrab dengan keseharian seperti mampu berpelukan, bersentuhan, berciuman dan tolong-menolong. Hal seperti ini memang kita bisa melihat dalam aktivitas kebinatangan jika kita menonton acara TV seperti National Geographi tentu itu adalah aktifitas yang dimiliki oleh binatang, berbeda jika George Orwel dalam buku novel atau lebih tepatnya dongeng Animal Farm yang menjelaskan sebuah narasi sekelompok binatang yang mencoba menggulingkan kekuasaan manusia karena menganggap manusia melakukan perbuatan yang melukai para hewan tepatnya menindas. Jika dibandingkan dengan Yuval dalam Sapiens juga menunjukkan narasi yang serupa misalnya Simpanse ini layaknya politikus manusia yang saat kampanye pemilu berkeliling untuk berjabat tangan dan mengecup bayi, demikian pula para kandidat yang berebut kedudukan puncak dalam kelompok simpanse menghabiskan waktu memeluk, menepuk punggung dan mencium bayi simpanse. Aktifitas sekelompok hewan ini persis dalam dongeng Animal Farm yang ditulis untuk menyinggung kekuasaan totalitarianisme Uni Soviet pada saat perang dunia ke dua. Dalam teori Yuval dijelaskan teori Gosip, kawanan simpanse ini akan berkumpul dalam bentuk kawanan sebanyak dua puluh sampai lima puluh untuk berkumpul dan membentuk tatanan sosial seperti dengan manusia yang akan membentuk kelompok yang diikat oleh cerita-cerita informasi sampai 150 orang yang saling bertukar informasi baik dalam bentuk surat elektronik, panggilan telepon ataupun kolom surat kabar hanya untuk bergosip dan mengokohkan kelompok masyarakat, bisnis, jejaring sosial sampai mendapatkan hubungan akrab melalui penyebaran rumor, perlu satu cerita satu emosi untuk mendapatan tatanan sosial tapi tidak boleh melebihi dari tatanan sosial 150 orang, jika lebih maka tatanan sosial tersebut akan mengalami krisis. Kira-kira seperti itu pandangan rumor Yuval mendefinisikan Simpanse yang menjadi sepupu manusia yang terbatas keakraban dalam kelompok.

***

Kemunculan Fiksi

Buku Sapiens, membahas tiga revolusi besar diantaranya revolusi kognitif, revolusi pertanian sampai dengan revolusi sains. Revolusi inilah yang kemudian menjadi penghubung bagaimana bab pemersatuan umat manusia yang menjadi core idea dalam buku ini mengenai riwayat singkat umat manusia. Dalam penjelasan sebelumnya mengenai tatanan sosial 150 orang ternyata homo sapiens yang dimaksud disini adalah yang bisa melampaui tatanan ajaib angka 150 orang ini, maka disitu kerja-kerja kelompok homo sapiens sehingga bisa mendirikan kota-kota yang berisi puluhan ribu  penduduk tanpa takut akan kutukan krisis jika melampaui jumlah 150 orang, tanpa takut bisnis dan peradabannya gulung tikar jika melampaui angka ajaib tersebut. Bagaimana homo sapiens mampu mendirikan imperium-imperium yang bisa memerintah ratusan jiwa tanpa takut dengan kutukan krisis dan gulung tikar, bahwa menurut Yuval, barangkali adalah kemunculan fiksi. Yah, Yuval dengan tegas menyebut kemunculan fiksi yang bisa membentuk imperium, kota-kota besar sampai peradaban puluhan ribu bahkan ratusan jiwa bisa sukses bekerja sama berkat adanya mitos-mitos bersama yang mereka percayai. Namun yang dicontohkan adalah bukan imperium atau kota-kota besar melainkan sebuah perusahaan otomotif yang dianggap sebuah imperium yang bernama Peugeot, salah satu produsen tertua dan terbesar di Eropa yang bermula sebagai bisnis keluarga kecil di desa dan kemudian sukses dan mengembangkan perusahaan tersebut dan mempekerjakan sampai 200.000 orang diseluruh dunia jika dibandingkan dengan jumlahnya yang banyak maka 200.000 itu bisa ditempati oleh satu distrik tertentu atau katakanlah satu kabupaten dengan populasi sebanyak itu. Yuval melihat sebuah negara dengan melihat perusahaan sebagai contoh kecil atau miniatur negara, bagaimana negara itu berproduksi, mempunyai mekanik, akuntan, mempekerjakan sekretaris sampai pegawai negara, mengelola keuangan, saham, seperti layaknya cara kerja perusahaan. Perusahaan akan tetap utuh dan berjalan dengan baik jika orang-orang yang bekerja didalamnya mempertahankan tradisi mitos atau fiksi tentang keberhasilan yang mereka sepakati bernama “Fiksi Hukum”. Perusahaan diikat oleh hukum-hukum perusahaan atau negara dimana perusahaan tersebut berada atau beroperasi. Kekuatan fiksi dalam fikiran Yuval terlihat terstruktur bagamaina dia beranggapan bahwa keberhasilan Sapiens atau manusia bekerjasama dengan hal-hal asing sehingga membuat bisa menguasai dunia, sementara hewan lain memakan sisa-sisa dari manusia dan simpanse yang lain terkurung dalam kebun binatang dan menjadi alat peraga dan riset laboratorium penelitian. Terlihat plot yang absurd namun seperti itu cara pandang Yuval memperlakukan fiksi sebagai hayalan dan mitos-mitos penciptaan. Bukan hanya pemenang yang menciptakan sejarah, namun juga ilmuan sangat bisa menciptakan ilusi, delusi, rumor, mitos dan fiksi yang kemudian dikonsumsi oleh masyarakat akademik, sampai dengan masyarakat awam yang dimana terjadi perjumpaan dialog dan perjumpaan diskursus yang bisa saja hasil akhirnya tetap menjadi pro kontra jika sudah masuk pada ranah ideologi, agama dan ras. Bagaimana cara meyakinkan mereka semua ditengah sulitnya menciptakan negara, keyakinan, kedaulatan sampai menciptakan lokus dan pengetahuan untuk meretas keyakinan itu. Fiksi dalam pikiran Yuval adalah “konstruksi sosial”, atau “realitas yang dikhayalkan” tapi meyakinkan sebuah kenyataan soal khayalan itu seperti bercerita soal imajinasi liar yang butuh waktu bertahun tahun lamanya agar khayalan itu terjadi diluar nalar dan sainstisme. Seseorang harus percaya kepada iblis agar sosok iblis ada dikehidupan nyata, seseorang harus percaya dewi dan dewa agar sosok dewi dan dewa berwujud nyata dikehidupan nyata. Apa yang dikhayalkan adalah sesuatu realitas. Walau sebenarnya mungkin khayalan tersebut adalah sebuah realitas ganda.

 ***

Gosip Rocky Gerung dan Fiksi Kitab Suci

Kitab suci itu fiksi, demikian salah satu perkataan seorang tim sukses Pemilu 2019. Menurutnya fungsi fiksi adalah mengaktifkan imajinasi, karena dianggap belum selesai dalam realitas. Wilayahnya hanya pada level imaji atau imajinasi seperti yang dia sebutkan bahwa Kitab Suci itu adalah sesuatu yang imaji atau imajinasi dan belum selesai atau belum final bukan faktual dan belum terjadi. Tentu ini adalah pernyataan yang jauh dari prinsip pengetahuan. Lantaran keyakinan dianggap sesuatu yang belum final, tentu agama yang diakui di negara Indonesia seperti Islam, Nasrani, Hindu Budha dan jaman orde baru ada istilah kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dan kepercayaan itu adalah sesuatu yang final dan tidak boleh diganggu gugat kecuali mencari hal definisi lain dibawah pengaruh atau doktrin tertentu. Padahal kita ketahuai sama-sama kitab suci yang dianggap belum faktual dan belum terjadi oleh Rocky Gerung adalah sesuatu yang keliru, Kitab suci bahkan bercerita soal sejarah, katakanlah Al Quran yang bercerita soal umat terdahulu. Segala sesuatu yang belum pernah dibaca maka menjawabnya adalah dengan sesuatu yang berhayal. Bahkan membandingkan kitab suci yang telah ada misalnya sejak jaman Rasulullah dengan Kitab Babad Tanah Jawi yang baru berumur sejak abad 18 dimana bercerita soal silsilah raja-raja cikal bakal kerajaan Mataram. Tentu bukan perbandingan yang pas, tapi lantaran disampaikan oleh tokoh populer jadinya Kitab Suci menjadi terdown grade nilainya sampai level receh dan memuat diksi penghinaan. Oleh Yuval hal seperti ini sekedar gosip, dimana gosip biasanya berfokus pada kesalahan. Tentu, lantaran tidak membaca sejarah dan cerita dalam kitab suci sehingga ketidak tahuan dalam sejarah menjadi gosip yang mengalihkan perhatian yang berbahaya namun tidak disadari apatah lagi oleh publik, semacam membodohi tapi dengan cara retorika yang seolah-olah mendapatkan pembenaran karena mempunyai ruang pamer yang tersedia dan panggung yang disediakan. Mungkin pernyataan ini lah sehingga Rocky Gerung kehilangan ruang pamer dan ruang bergosip lantaran salah menempatkan metode komunikasi dan metode keilmuan yang harusnya berceritera tentang sejarah umat manusia dan segala bentuk firman dalam kitab suci dianggap sebagai sesuatu khayalan dan fiksi. Sama persis jika proses terciptanya alam duniawi juga adalah fiksi dan tiba-tiba ada, mungkin Rocky Gerung juga merasa dirinya sendiri adalah fiksi karena belum final, belum terjadi dan belum faktual karena berada didunia nyata sementara menurutnya fiksi ada dalam wilayah imajinasi. Jadi terbolak balik seperti sinetron dunia terbalik. Seperti seseorang yang menonton televisi yang melihat gambar dan suara tapi tidak melihat kejadian nyata karna dianggap tidak faktual dan tidak terjadi di depan mata, apalagi jika mendengar suara radio tanpa melihat gambar. Menurutnya itu Fiksi.

Komunikasi salah satunya adalah kemampuan seseorang untuk menciptakan realitas melalui pengalaman terdahulu atau pengetahuan terdahulu sehingga mampu menciptakan kisah-kisah. Jika tak didasari pengalaman dan sejarah maka didahului dengan khayalan yang dipaksa menjadi realitas dipaksa menjadi budaya dipaksa menjadi sebuah keyakinan dan kepercayaan.

***

 

Revolusi, diciptakan oleh sastrawan bukan akademisi

 apalagi dari lelaki yang bergosip.


Share:

Pendidikan yang Kehilangan Peringatan !!!


Ilustrasi

Pendidikan Kebudayaan
Untuk membahas pendidikan di hari pendidikan nasional yang kita peringati setiap tanggal 02 mei, mungkin perlu untuk menjejaki setiap moment gagasan pendidikan Indonesia. Saya jadi teringat dengan pendidikan kolonialisme, mengapa para kolonialis dahulu hanya memperuntukkan pendidikan untuk para pribumi terpandang dan mempunyai kedekatan dengan para kolonialis yang saat itu berstatus rakyat Hindia Belanda di abad 19 dahulu yang sekarang kita sebut Indonesia selain untuk lulusannya dipekerjakan menjadi pegawai dan mengabdi kepada Hindia Belanda. Yah saat itu orang tua kita baru mendapatkan pendidikan lewat Jalur Politik Etis yang disepakati setelah pemerintah Hindia Belanda diprotes di forum internasional akibat perbuatan dan perbudakan yang mereka kelola saat itu sehingga melahirkan, tiga gagasan politik etis diantaranya “Irigasi” untuk keperluan pembangunan pertanian, “Imigrasi” untuk mengajak penduduk bertransmigrasi dan “Pendidikan” untuk mendidik penduduk dalam memperoleh ilmu pengetahuan.

Melalui kebijakan etis penguasa Belanda mau menerima tanggung jawab untuk mendidik orang Indonesia. Pada tahun 1901, segelintir orang Indonesia, 1600 orang di level sekolah dasar dan kurang dari 50 di tingkat sekolah menengah harus berjuang belajar di tengah-tengah orang kulit putih. Empat tahun kemudian, jumlah siswa Indonesia naik tiga kali lipat, dan pada 1930, ada 60.000 siswa di sekolah dasar dan menengah yang dikelola pemerintah Belanda. Para perintis di awal abad ini adalah orang-orang pinggiran, yang teralienasi dari masyarakat Indonesia dan Belanda. (Anthonie Reid, 2018 ;13). Pendidikan ini kemudian mendapat respon yang sangat besar saat itu. Akan tetapi mendapatkan interupsi yang cukup radikal dijamannya seperti Ki Hajar Dewantara yang telah mendirikan sekolah swasta bernama Taman Siswa pada tahun 1922, perbandingan 20 tahun lamanya sekolah Hindia Belanda di Evaluasi oleh tokoh pergerakan seperti Ki Hajar Dewantara.

Menurutnya pendidikan yang diberikan oleh pemerintah Hindia Belanda saat itu menjadikan generasi awal yang bersekolah “tercerai berai” karena pendidikan barat tidak mampu memberikan dasar kultural utama bagi peserta didik. Artinya mereka mendapatkan pendidikan barat dan menjadi kebarat baratan dan melupakan kultur utama yaitu menjadi seorang Jawa, mereka dalam memahami kultur utama mesti mendapatkan pendidikan “Kemerdekaan”, diartikan bahwa setiap manusia berhak mengatur kehidupan sendiri tidak dikekang dan mempunyai kebebasan dan merdeka itu adalah kodrat dari Allah Swt dan mempunyai nilai hidup yang luhur baik sebagai perseorangan maupun hidup dalam kelompok masyarakat. “Kodrat alam”, dimaksudkan bahwa seseorang mesti selaras dengan alam semesta, untuk mencapai kebahagiaan maka alam dan lingkungan juga adalah sesuatu yang wajib seseorang itu jaga demi kelangsungan hidup dan penghambaan kepada Allah Swt.  “Kebudayaan” diartikan sebagai pendidian nilai budaya sebagai aspek untuk memelihara sejarah dan nilai-nilai prinsip dasar dari nenek moyang yang tetap dipelihara untuk kepentingan anak bangsa dan generasi penerus bahwa identitas dan corak kebudayaan tetap ada dan tidak luntur. “Kebangsaan”, diartikan bahwa pendidikan kebangsaan adalah wujud utama bagi rakyat untuk mengetahui arah dan posisi bangsa ke depan yang memiliki cita-cita kebangsaan dengan rasa persatuan yang tinggi.  Terakhir “Kemanusiaan”, diartikan sebagai pendidikan akan mempengaruhi atas terbentuknya cipta rasa dan karsa, tidak hanya mengandalkan intelektual akan tetapi juga meningkatkan kekuatan daya cipta seperti pembangunan kepribadian, pendidikan akademis sampai dengan pengembangan diri berupa pendidikan seni yang terangkum dalam pendidikan afektif (olah rasa), kognitif (aspek pengetahuan) sampai psikomotorik (keterampiran).

Ke lima kewajiban ini lah yang disebut sebagai Panca Darma filosofi pendidikan taman siswa yang dikembangkan oleh Ki Hajar Dewantara. Salah satu filosofi pendidikan yang paling terkenal hingga hari ini adalah Ing Ngarso Sang Tulodo (memberikan teladan di depan), Ing Madyo Mangun Karso (di tengah membangun semangat), Tut Wuri Handayani (memberikan dorongan dari belakang) semboyan ini bagi angkatan 70 an dan 80 an adalah semboyan yang merasuk sampai kedalam hati nurani dan dihapal diluar kepala, dan menjadikan semboyan ini seakan-akan kekuatan kebangsaan saat itu. Diajarkan disemua level sekolah, semboyannya ditempel di dinding sekolah agar setiap siswa membaca secara sepintas dan menjadikan semboyan tersebut sebagai karakter anak bangsa, bahwa siapapun harus menjadi pemimpin bagi diri masing-masing pada saat berada di depan, berada di tengah dan berada di belakang, di posisi manapun memberi teladan, membangun semangat dan memberi dorongan dari belakang. Tampaknya Panca Darma dan Semboyan Taman Siswa di jaman Milenial saat ini terlupakan, terhapus dalam memori dari benak pesertia didik maupun pendidik kita hari ini dikarenakan derasnya arus informasi dan komunikasi yang membuat peserta didik maupun pendidik tidak lagi mampu menjadi masing-masing teladan, membangun semangat, dan saling memberi dorongan lantaran kehilangan pendidikan kebudayaan sebagai strategi budaya yang paling utama adalah MEMBACA.

Kebangkitan Ormas atau Kebangkitan Pemuda
Politik etis yang dimulai oleh pemerintah Hindia Belanda pada awal tahun 1900 an seolah menjadi simbol kebangkitan pendidikan dan politik anti kolonialisme. Kita cermati bersama dimana awal tahun 1900 saat itu juga bersamaan terbentuk Organisasi pertama yaitu Sarekat Dagang Islam (1905), didirikan oleh para pedagang-pedagang pribumi Islam yang menentang segala kebijakan ekonomi dan kelakuan kolonialisme Belanda. Pada awal tahun 1900 saya melihat ini merupakan kebangkitan awal pendidikan politik dan perlawanan saat itu, kita lihat terbentuknya Sarekat Dagang Islam yang juga menjadi motor penggeraknya adalah Raden Mas Tirtoadisuryo yang kita kenal sebagai tokoh pers dan tokoh kebangkitan nasional, ada Haji Omar Said Tjokroaminoto yang kita kenal sebagai tokoh bangsa dan salah satu pemimpin Organisasi Sarekat Islam pertama setelah berubah dari Sarekat Dagang Islam. Kita mengenal bagaimana Hos Tjokroaminoto “mendidik” para tokoh pemuda besar seperti yang kita kenal sebagai Presiden Soekarno, Semaon, Muso, Alimin, Kartosuwiryo dan Tan Malaka berada dalam satu payung Sarekat Islam. Organisasi Islam pertama dan Organisasi Pemuda pertama yang berdiri sejak awal tahun 1900-an. Tahun tersebut menandai kebangkitan ide, kebangkitan gagasan, pendirian organisasi dan partai serta kebangkitan solidaritas yang begitu tinggi terhadap perlawanan kepada kolonialis Hindia Belanda. Tokoh-tokoh tersebut diatas kemudian menjadi penyambung lidah bagi rakyat sepanjang awal tahun 1900 sampai menjelang kemerdekaan Negara Republik Indonesia tahun 1945.

Sentimen kepada China pada saat itu memang menguat lantaran pedagang merasa jengkel kepada tekanan ekonomi China dan menyebabkan timbul sentimen anti China sejak awal. Disitulah peletakan Intelektual seorang Hos Tjokroaminoto perlunya kepemimpinan generasi yang terdidik untuk membedakan diri dari bangsa China dan Bangsa Eropa. Selain itu, yang menandakan kebangkitan pendidikan dan politik anti kolonialisme diantaranya berdirinya organisasi agama bernama Muhammadiyah  pada tahun 1912 di Jogjakarta yang sampai mengembangkan sendiri sistem sekolah modernnya disamping kemudian merangkul para pribumi muslim yang berada di sekolah-sekolah pemerintah Hindia Belanda pada saat itu dan sampai dengan saat ini tahun 2020 jumlah lembaga pendidikan Muhammadiyah lebih dari 10.000 yang tersebar di seluruh nusantara mulai bidang pendidikan, kesehatan dan yayasan sosial pada tahun sekarang. 12 tahun setelahnya Pada tahun 1926 di jawa timur, berdiri organisasi keagamaan yang berorientasi tradisional yang juga menjadi kelompok agama yang besar sampai hari ini dan kemudian mendapat respon publik yang luar biasa sesuai dengan survey LSI pada Februari 2019 yang lalu, NU didaulat sebagai Ormas terbesar di Indonesia dengan jumlah persentase sampai 49,5% dan Muhammadiyah sebesar 4,3%. Jika melihat jumlah penduduk Indonesia sekitaran 250 juta jiwa dan 80% beragama islam, maka total persentase 49,5% dari 80% yang beragama islam berarti terdapat kurang lebih 100 juta penduduk Indonesia yang beragama islam berafiliasi kepada Ormas Nahdlatul Ulama. Tentu ini adalah tafsiran seberapa besar pengaruh sebuah ormas terhadap orientasi dalam bidang keagamaan, perkaderan sampai orientasi layanan sosial dan pendidikan. Dan tentunya ormas-ormas besar tersebut melahirkan tokoh tokoh pemuda, ulama besar sampai pada pemuda intelektual yang sejak dulu berikrar dan berdakwah untuk Indonesia yang lebih baik, jika melihat ikrar pemuda saat awal-awal 1900 an segala hal yang berbau imperialisme, kolonialisme sampai dengan kapitalisme maka itu adalah musuh bersama.


Share:

About Me

My photo
Diri Umar Bakri. Pengoleksi Buku lapuk. Peminum Kopi Kapal Api. Berusaha melancongi imajiner tiap waktu.

Pengunjung Blog

Followers

"Buku harus dijadikan kapak untuk memecah lautan beku dalam diri kita" #Franz Kafka