"Buku harus dijadikan kapak untuk memecah lautan beku dalam diri kita" #Franz Kafka

Dinamika Politik Pemilu Serentak (Pertama) 2019 ; Politik Perburuan Kekuasaan dan Konsolidasi Gagal Partai Baru



 
Antara Genealogi dan Cacat Epistemologi

        Pemilu serentak 2019 merupakan implementasi dari amar Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 14/PPU-X/2013,[1]. MK Memutuskan bahwa penyelenggaraan pemilihan umum presiden dan wakil presiden, serta pemilihan umum legislative (pusat dan daerah) dilaksanakan secara serentak mulai tahun 2019. Hal ini memunculkan berbagai penafsiran akan system yang akan dibangun berdasar pada keputusan MK tersebut, karena dalam amar putusannya Mahkamah Konstitusi hanya menyebutkan soal penyelenggaraan pemilu serentak antara pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD dan pemilu presiden-wakil presiden. Sementara pemilihan kepala daerah tidak disebutan secara jelas kedudukannya.[2] Konstruksi tersebut tentu menjadi pertimbangan yang rasional dalam hal penyelenggaraan demokrasi 5 tahunan yang ada di Indonesia.

Orientasi pemilihan serentak merupakan objektifikasi hubungan dan kedudukan fungsional kelembagaan Negara antara yudikatif, eksekutif dan legislatif sebagai sarana dalam penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis. Pemilu serentak 2019 merupakan pemilu serentak pertama yang dilaksanakan sepanjang sejarah pemilihan umum yang ada di Indonesia. Hasil dari pemilu yang serentak ini tentu akan memperkuat posisi Negara dalam kedudukan sistem kongresional atau sistem presidensial yang dianut oleh Indonesia sebagai Negara yang berasaskan demokrasi melalui pemilihan umum. Dalam hal ini transformasi sistem kepemiluan yang kemudian berubah sejak 2004 dimana pemilu saat itu adalah pemilihan langsung dimana tahun tersebut adalah tonggak sejarah demokrasi pasca reformasi rakyat berhak,mempunyai hak untuk memilih secara langsung presiden dan wakil presidennya. 2004 dan 2019 adalah momentum transformasi sistem kepemiluan yang ada di Indonesia yang kemudian menjadi tonggak penyelenggaraan prinsip demokrasi dimana melibatkan rakyat untuk langsung dan terlibat dalam memilih kepala negaranya.

Harapan Pemilihan umum 2019 yang dilaksanakan secara serentak juga dianggap akan menggunakan APBN Negara terbatas atau bisa dihemat dari pemilu sebelumnya tahun 2016, namun dana yang telah dihabiskan saat pemilihan umum serentak mencapai 24,6 Trilyun jumlah yang terbilang besar untuk kontestasi yang diakhir perjalanan oposisi memilih untuk bergabung dalam partai koalisi, sesuatu yang menurut hemat penulis “melanggar” etika demokrasi. Kenapa harus menghabiskan 24,6 Trilyun jika pada akhirnya tidak ada penyeimbang demokrasi berupa oposisi dalam suatu pemerintahan. Negara tidak stabil, korporasi-korporasi swasta akan mengendalikan pemerintah dan bergonta-ganti peran di sektor dan bidang yang sama, akhirnya terjadi mekanisme sistematik akhirnya demokrasi cacat epistemologi tapi tak terlihat lantaran timpangnya demokrasi tanpa oposisi.

 

Politik Perburuan Kekuasaan

Sejak pemilu serentak 2019, konflik identitas, kebangkitan populisme begitu tajam lantaran kubu pasangan yang merupakan entitas dari partai politik dan oligarki bermain pada ranah yang sangat konfrontatif dan bermain disegala medan politik mulai di akar rumput sampai pada gerakan sosial media yang banyak melanggar asas kepatutan sehingga opini, fabrikasi hoak dan pelanggaran UU ITE sudah menjadi cirri dari pilpres 2019 yang begitu bebas dan tak terontrol.

 Fenomena kebangkitan populisme tersebut tidak terkecuali bagi Indonesia. Populisme di Indonesia kontemporer ditandai dengan munculnya persaingan dua politisi populis sejak Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 antara Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto. Pada saat itu, Prabowo menunjukkan gelagat populisme bersifat ultra-nasionalis dan konfrontatif yang ingin mengembalikan Indonesia pada kejayaan masa lalu dalam pandangan negara korporatis, sedangkan Jokowi menampilkan populisme pragmatisme nir-ideologis dan teknokratis dengan tetap merujuk pandangan nasionalisme kerakyatan, dimana politik populis dikombinasikan antara pengalaman teknokrasi dan komunikasi langsung ke akar-rumput.[3] Terlihat bahwa ideologi dan populisme terjadi benturan yang begitu keras bahkan sisa-sisa benturan itu kemudian membatu pada kelompok pendukung masing-masing sampai sekarang walau pada hakikatnya Prabowo sudah bergabung dalam kelompok koalisi. Politik perburuan kekuasaan terjadi jelas didepan mata publik para elite parpol mendesak, untu mendapatkan jatah kekuasaan sampai konsolidasi tingkat elit parpol dimana Partai Prabowo, Partai Gerindra merupakan partai urutan ke 3 (tiga) dengan perolehan kursi terbanyak di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Tentu kita tidak akan melihat gesekan politik yang berarti ketika ada semisal Rancangan Undang-Undang yang diajukan oleh pemerintah kepada parlemen karena semua kursi diborong oleh pemerintahan. Katakanlah rancagan undang undang Omibus Law yang mendapat dukungan dari 7(Tujuh) partai politik koalisi pemerintah diantaranya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Amanat Nasional dan Partai Persatuan Pembangunan. Sementara yang menolak hanya Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrat (PD). Kontroversi Undang Undang ini dengan segala pro kontra dimata publik juga menjadi kebijakan yang tanpa kesulitan berarti dalam pengesahannya, alamat lampu kuning demokrasi di Indonesia dimana parlemen dikuasai oleh kelompok partai pendukung pemerintah.


Konsolidasi Gagal Partai Baru

Peserta pemilu dalam pemilu serentak 2019 yang berjumlah 16 partai, ternyata mampu menghasilkan demokrasi yang begitu ramai pada tingkatan elit sampai akar rumput, karena hasil pemilu serentak 2019 hanya menyisakan 9 partai yang lolos ke senayan, sehingga atmosfer politik sepanjang 2019 tidak terjadi gesekan politik berarti di gelanggang parlemen dalam setiap pembahasan rapat paripurna sampai dengan pembahasan Rancangan undang-Undang. Terkecuali partai Hanura yang memang secara mengejutkan tidak lolos ke senayan setelah dua periode berurut sejak 2014 sampai dengan 2019 dan juga partai Bulan Bintang yang juga gagal meraih tiket ke senayan, walau dalam sejarah partai bulan bintang adalah partai penerus Masyumi yang pernah Berjaya pada Orde lama saat pemilu 1955 dengan keluar sebagai pemenang suara terbanyak ke dua setelah PNI.

Hasil Pemilu 2019 mempertahankan posisi dominan pada partai-partai lama, sementara partai baru semua gagal menempatkan wakilnya di DPR-RI.[4] Hanya 9 (Sembilan) partai politik yang lolos dan berhasil mendudukkan wakilnya di parlemen pusat sementara ke 7 (tujuh) partai lainnya gagal lantaran perolehan suara yang menjadi syarat ambang batas adalah 4%. Ini berarti bahwa konsolidasi partai-partai baru ini untuk masuk parlemen dan menjadi oposisi juga semakin kecil pengaruhnya di pusat. Partai baru butuh perjuangan lebih keras dan konsolidasi lebih tajam sampai mendapat porsi kurang lebih 6 juta suara atau setara dengan 4%, ditengah maraknya politik uang, klientalisme dan pertarungan kuasa oligarki politik. Demokrasi tiap 5 tahun dipertaruhkan bahkan sampai puncak konflik identitas dan hak asasi manusia.

 

 

Daftar Pustaka

 Buku

Jurdi, Syarifuddin. Pemilihan Umum Di Indonesia; Tata Kelola Pemilu, Kedaulatan Rakyat dan Demokratisasi, Jakarta : Kencana-Prenada Media Group, 2020.

 Jurnal

Margiansyah, Populisme Di Indonesia Kontemporer: Transformasi Persaingan Populisme Dan Konsekuensinya Dalam Dinamika Kontestasi Politik Menjelang Pemilu 2019,  Jurnal Penelitian Politik Vol. 16. No. 1, Juni 2019.

Peraturan Perundang-Undangan

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013

 

 

 

 



[1] Putusan ini dibacakan oleh Mahkamah Konstitusi pada 23 Januari 2014, sekitar 3 (tiga) bulan lebih sebelum penyelenggaraan pemungutan dan penghitungan suara Pemilu 2014

[2] Syarifuddin Jurdi, Pemilihan Umum Di Indonesia; Tata Kelola Pemilu, Kedaulatan Rakyat dan Demokratisasi, (Jakarta : Prenada Media Group, 2020)

[3] Marcus Mietzner, “Reinventing Asian Populism: Jokowi’s Rise, Democracy, and Political Contestation in Indonesia” East-West Center (2015), JSTOR, https://www.jstor.org/stable/ resrep06525. Dalam Defbry Margiansyah, Populisme Di Indonesia Kontemporer: Transformasi Persaingan Populisme Dan Konsekuensinya Dalam Dinamika Kontestasi Politik Menjelang Pemilu 2019,  Jurnal Penelitian Politik Vol. 16. No. 1, Juni 2019

[4] Syarifuddin Jurdi, Pemilihan Umum Di Indonesia; Tata Kelola Pemilu, Kedaulatan Rakyat dan Demokratisasi, (Jakarta : Prenada Media Group, 2020)

Share:

Populisme Isu PKI; Sindrom Fomo Pilpres 2024


Gambar dari Google : FPLP (Oraganisasi Perlawanan Rakyat Palestina) Berideologi Komunis


Motif Populisme dan Kanibal Politik

Akhir akhir ini, seiring dengan berita wabah C.19 sejak awal maret yang kian menghawatirkan publik, di ruang-ruang pribadi sosial media seperti whatsapp masuk info silih berganti soal kekejaman Partai Komunis Indonesia, sejarah kelam bangsa Indonesia dalam sistem politiknya. Isu ini tiba-tiba menguat bersamaan dengan wabah C.19, entah apa motifnya lantaran kita tahu bahwa isu PKI merupakan isu tahunan yang pasti akan muncul tiap bulan September, lantaran diberi nama sebagai politik ingatan G30S/PKI yang berarti gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia, namun setelah reformasi istilah G30S/PKI berubah menjadi G30S, ada juga menamai gerakan ini sebagai Gestapu atau Gerakan September Tiga Puluh, kalau Presiden Soekarno menamainya dengan Gestok, Gerakan Satu Oktober.

 

Kita tentu berfikir ini masih bulan Mei, bahkan isu ini diproduksi sejak awal maret 2020 bersamaan dengan wabah C.19. Mungkin kelompok ini ingin memberi stigma geografis sekaligus bahwa wabah C.19 ditengarai berasal dari China, dan Isu PKI juga menjurus kepada China. Saya sendiri menduga kearah sana sehingga fixed satu paket seolah-olah ini semua adalah perbuatan China dan publik Indonesia sepertinya akan dibuat untuk menyamakan PKI dan China, satu suara satu paduan suara, kelompok penekan dan kelompok kepentingan memang adalah hal yang biasa terjadi dalam peta politik dalam suatu negara tertentu, mau terlihat konsisten dengan sikap sampai yang tidak konsisten pun semua ada dalam aktivitas politik yang begitu terbuka di jaman sekarang.

 

Stigma yang cukup mengandung pertamax untuk kembali membakar konflik identitas dan trauma yang besar dan mahal. Saat pilkada DKI Jakarta kemarin, begitu massivnya serangan kepada PKI oleh para Elite, diantaranya elite agama, elit Lembaga besar sampai elite Lembaga agama yang berlindung di belakang negara. Ketokohan dan status elite yang melekat pada dirinya merupakan minyak pelumas untuk mengokohkan populisme isu PKI yang diproduksi melalui media-media daring sehingga populisme isunya pun menjadi click bait bagi publik. Walau diantara mereka kebanyakan membuat narasi sejarah PKI macam-macam cenderung Hoax dan hanya untuk kepentingan memanaskan mesin pilkada sehingga menjaring orang-orang yang termakan populisme isu tersebut. Katakanlah misalnya tokoh elit agama seperti Ustad akhir zaman yang mengkampanyekan “Revolusi Komunis” yang diramal akan terjadi saat 2019 kemarin yang dalangnya adalah komunis dari China, warga jakarta akan disembelih dan mayatnya akan dibuang ke laut, seperti itu isi ceramahnya.

 

Terlalu banyak narasi yang berkembang tanpa pengetahuan yang berarti, narasi seperti ini tidak dapat dibenarkan, sehingga publik awam begitu mudah membenarkan, mengikuti, bahkan meyakini hal yang tidak benar. Klaim-klaim populisme seperti ini sebenarnya salah sasaran lantaran tidak melakukan kritik yang betul-betul objektif, hanya berisikan propaganda dan agitasi dan pembunuhan karakter. Jika kelompok penekan mempunyai wajah politik seperti ini maka demokrasi tidak akan berjalan sebagaimana mestinya, yang ada adalah pembodohan dalam sistem politik berlatar belakang identitas dan memperlebar jarak dan menimbun bara yang akan membakar suatu waktu jika sudah tidak bisa dicegah, kita bahkan melihat beberapa kali alienasi politik membuat publik menjadi hilang kontrol.

 

Demonstrasi berujung anarkisme, vandalisme sampai perusakan ruang publik karna tidak menerima hasil keputusan yang dirasa merugikan kelompok tertentu atau golongannya. Ya, ini pemandangan biasa kita lihat dalam negara Indonesia, kebanyakan bermain pada level golongan, kelompok, komunitas, bahkan hal seperti ini tidak selesai malahan tambah subur menghiasi arena politik kita sampai hari ini, feodalisme, oligarki level nasional, lokal sampai internasional bermain dalam satu garis atau berkompetisi dalam satu garis kebijakan dan keuntungan yang berputar pada wilayah eksekutif, legislative sampai yudikatif, apakah produk kebijakan yang dihasilkan oleh lembaga ini menyokong para oligarki lewat pengesahan undang-undang atau malah sebaliknya, undang-undang yang disahkan malah membuat rakyat semakin kehilangan pegangan, hak atas kesejahteraan dan properti. Populisme yang dimulai dari atau yang dimanfaatkan oleh elit untuk menebar retorika politik akan memberi pengaruh yang cukup signifikan lantaran elit adalah pola dan siklus issu bermain untuk melihat skenario yang berlaku pada level pusat, lembaga pemerintahan sampai pengaruh di daerah. Jika ini berjalan tentu propaganda skenario seperti Isu PKI yang seolah api yang tertiup angin semakin besar dan menjulang. Muncul dibeberapa media, seminar atau yang keren sekarang adalah webinar, mulai ditingkatan kampus, kepentingan politik menjelang pilkada sampai menggunakan pembicara mewakili aparat negara secara bersamaan berbicara mengenai hantu komunis.

 

Tidakkah kita sadar, Isu PKI yang disebar berbanding lurus dengan kacamata Orde Baru. Berbicara Komunis, mestilah berbicara Orde Baru. Apa jangan-jangan kita akan diperhadapkan dengan kebangkitan Orde Baru? Mengingat korban akibat pembantaian PKI atau pembunuhan terhadap orang yang terafiliasi PKI atau tertuduh PKI bersalah atau tidak berlangsung sepanjang tahun 1966 sampai tahun 1967 korbannya mencapai kurang lebih 500 ribu korban sampai dengan 3 juta jiwa berdasarkan data pencari fakta komnas HAM. Siapa yang bertanggung jawab akan pembantaian sebanyak itu? Kebanyakan yang menjadi korban adalah orang yang sebenarnya tidak tahu-menahu soal komunisme. Apalagi kenal yang namnya Aidit, Mao Tse-Tung, atau Gestapu. Sebagian petani anggota BTI (Barisan Tani Islam) misalnya, ikut bergabung karena organisasi itu menyuarakan keluhan mereka, atau karena mereka mengira Sukarno adalah ketuanya, atau (seperti yang dilaporkan Aceh), karena mereka diberi tahu bahwa itu dalah kepanjangan dari Barisan Tani Islam. Dalam situasi anarki dan dengan orang-orang yang haus darah yang menyapu Jawa, Bali, dan sebagian Sumatera Utara, mereka yang terlibat dalam pembunuhan itu tidak dihukum, dan banyak kejahatan juga dilakukan walaupun hamper tidak ada kaitannya dengan komunisme. Sengketa tanah paling sering menjadi penyebab dendam di daerah pedesaan, namun banyak isu lain yang juga “dibereskan”. Di Bali, misalnya sebuah laporan mengungkapkan pembunuhan 16 anggota keluarga pendeta yang merupakan musuh dari penguasa (Dewa Agung) selama beberapa generasi. (Anthoni Reid, 2018; 238).

 

Momen seperti inilah yang diinginkan oleh sebagian kanibalisme politik dengan cara mengorek luka lama bukan karena sebagai penanda akan tetapi mencari keuntungan jika negara dalam keadaan tidak maksimal dan genting sehingga aktifitas kanibal politik bias saja terulang seperti pembantaian PKI dengan dalih menuduh seseorang terafiliasi dengan PKI. Para kanibal politik seperti ini memungkinkan untuk mengulangi kembali sejarah perang saudara yang sebenarnya tidak perlu terjadi akan tetapi nafsu dan haus darah yang menyebabkan seseorang bisa berfikiran untuk membunuh dengan trauma sejarah yang sebenarnya mereka juga tidak pahami persis watak, corak dan kejadian yang melatarbelakangi, hanya berdasar isu populisme yang digembar gemborkan oleh beberapa elite yang tidak bertanggung jawab dan menjadi benalu dalam demokrasi dan sistem politik yang sejatinya rakyat berhak tahu yang sebenarnya akan tetapi proses tersebut cacat dan mengeksploitasi suara-suara publik yang pragmatis. Wajah-wajah pragmatism dalam politik sangat mudah kita jumpai, mulai wajah aktifis yang dikelola oleh kelompok tertentu sampai membuat gerakan massif atas isu tertentu sampai dengan wajah para “politisi” yang memang bersuara atas kehendak partai dan kelompok berikut golongan ketika berbicara soal pola pengambilan keputusan, dan beberapa riwayat pernyataan yang pro kontra dengan sikap sebelumnya yang meninggalkan jejak digital politik.

***

 

Sindrom Fomo Pilpres 2024

Celakanya kanibalisme politik serta wajah pragmatisme yang cenderung cacat dan mengeksploitasi terangkum dalam sifat atau sindrom FOMO (Fear of Missing Out), semacam gejala kecemasan sosial yang berlebih lantaran tekanan berita, informasi yang telah lama belum memenuhi aspek pemahaman dan keterampilan mengolah data sehingga mengakibatkan seseorang ingin menjadi sesuatu atau ingin terlibat atau ingin mendapatkan yang belum didapatkan seperti yang orang lain dapatkan, semacam takut tertinggal sesuatu, maka jangan heran kita-kita semua pasti akan disibukkan oleh aktifitas seseorang yang kerjanya di depan layar untuk menyebar berita yang sama sekali tidak mengerti akan narasi, diksi sampai isi berita atau informasi, hanya berbekal menyebar informasi agar dianggap sebagai “pahlawan”, Brengsek!!!  Sindrom FOMO (Fear of Missing Out) juga disampaikan oleh Yuval Noah Harari dalam bukunya Homo Deus (Yuval NH, 2015; 416). Menurutnya kemanusiaan modern takut sangat ketakutan ketinggalan dan itu adalah penyakit mental dan lucunya gelombang besarnya terjadi pada masyarakat yang Yuval sebut sebagai masyarakat WEIRD (Western, Educated, Industrialized, Rich, and Democratic) semacam pola contoh masyarakat barat, terdididik, terindustrialisasi, kaya, dan demokratis yang potensi mendapatkan penyakit kejiwaan sindrom FOMO. Kita pun juga sering mendapatkan bagaimana hoax diproduksi oleh orang-orang “masyarakat WEIRD” ini, tentu sesuatu yang tidak disangka-sangka, apalagi terdidik. Inilah yang menggejala saat ini, dimana mereka sebagai tokoh pun mengalami sindrom WEIRD tapi terlihat seperti biasa, namun memainkan peran propaganda yang luar biasa, utamanya ditemukan menjelang pesta demokrasi atau sekedar memainkan peran sebagai patron politik, terlepas posisi sebagai oposisi ataukah koalisi yang beroposisi, dalam politik sudah biasa terjadi.

 

Sindrom FOMO ini ternyata menggejala dan mengantarkan setiap “manusianya” yang terlibat untuk segera memenuhi segala macam serangan tanpa henti dengan menghiasi perebutan kursi kekuasaan 2024. Kebanyakan akan kita lihat kembali bagaimana Pilpres 2024 seperti halnya pilpres 2019 yang sedikit banyak mengcopy paste berbagai macam sindrom politik seperti pemilu pertama 1955, dimana begitu tumbuh suburnya politik dan konflik identitas, tumbuh suburnya jualan agama dan ayat ayat suci untuk menggalang suara dan kekuatan politik arus bawah sambil menjelek-jelekkan identitas lain, walau sebenarnya pemilu 1965 dianggap pemilu pertama yang cukup sukses tapi disini letak bibit politik dan konflik identitas dan sejarah konflik kepartaian meninggalkan jejak yang belum selesai. Perang karikatur, perang diksi, sampai baku serang dalam media sudah bukan hal yang biasa namun sudah menjadi hal luar biasa dengan gagah-gagahan menampilkan diksi, karikatur dan serangan konflik identitas, seperti diksi kafir, kabinet poligami, lapangan onta, kelompok radikalisme, sampai dengan diksi surga dan neraka bertaburan dimedia maupun aksi pidato, orasi maupun kampanye. Seperti tidak ada beda, gelombang konflik identitas tiap hari kita saksikan saat ini terlebih saat pilpres 2019 yang juga banyak meninggalkan bekas luka bagi yang kalah sehingga sindrom FOMO tersebut juga seolah-olah terverivikasi menuju pilpres 2024. Yah, setiap hari mulai saat ini kita akan menemui diksi-diksi konflik identitas seperti pemilu 1955 agar menjadi cermin bagaimana pola pilpres 2024 terjadi.

 

Sisa-sisa konflik pilpres 2019 memang masih terasa, dikarenakan beberapa kelompok yang berhasil membawa isu pendelegitimasian Lembaga negara dalam mengelola pesta demokrasi. Misalnya tidak mengakui Lembaga negara penyelenggara pilkada atau pilpres seperti Komisi Pemiihan UMUM mulai perangkat kepanitiaan seperti saksi, petugas pemungutan suara sampai ditingkatan pemilihan dianggap tidak dipercaya oleh sebagian publik terlebih jika dikaitkan pro kontra dengan kematian petugas pemungutan suara dengan dalih atau tuduhan diracun dan lain sebagainya. Ketidak percayaan ini kemudian berlanjut pada sidang Mahkamah Konstitusi yang digelar secara Live Nasional dan disaksikan oleh seluruh mata warga Indonesia namun masih dianggap juga cacat oleh sebagian publik dikarenakan faktor data KPU dari website yang mengelola data suara dari Form C1 dianggap ada permainan, padahal KPU sudah melakukan transparansi pengelolaan data dan suara agar dilihat lebih jelas oleh publik dan bisa dikontrol secara bersama-sama, sebagai wujud strategi kebijakan publik seperti dalam filosofi, cahaya matahari adalah pembunuh kuman terbaik, segala hal yang berada dalam kegelapan, kita bawa ke tempat terang benderang dan di bawah kontrol semua orang begitu kira-kira maksud dalam narasi transparansi, namun espektasi soal transparansi tersebut juga belum bisa memuaskan sebagian publik. Pendeligitimasian Lembaga negara seperti ini ternyata masih berkembang sampai sekarang, itu adalah resiko bagaimana “sebagian publik” yang masih tidak percaya kepada asas penyelenggara juga perlu mendapat ruang dalam wilayah demokrasi mulai dari yang masuk akal sampai yang tidak masuk akal ruang perdebatan selalu muncul untuk saling berargumen dan memilih perannya masing-masing.

***

Saya bertentangan dengan orang-orang yang ingin menjadikan saya

“seseorang atau sesuatu”. Sementara saya ingin tetap menjadi diri sendiri

[Onghokham]

 

Share:

Lelaki yang Bergosip Antara Yuval Noah Harari dan Rocky Gerung ; Siapakah yang Paling Fiksi

Ilustrasi

Kembalinya Charles Darwin “bergosip”

Beberapa waktu saya sempat kepikiran dengan seorang tokoh sejarah pemikir baru dalam dunia kepenulisan dengan melahirkan tiga buah buku yang best seller dan tentunya menarik bagi pembaca dunia kesejarahan dan konstruksi dunia baru, dikarenakan sosok buku tersebut menjadi piso analisis untuk segala macam peristiwa yang terjadi pada akhir 2019 dan awal 2020. Buku yang saya maksud adalah “Sapiens ; Riwayat Singkat Umat Manusia”  karya Yuval Noah Harari, seorang ahli sejarah dan Guru Besar di Jerussalem. Merasa kepikiran lantas namanya menjadi rujukan dan “setiap” teman dan kawan diskusi seolah berbicara sosok Yuval, tiba-tiba menjadi “legend” layaknya meteor dukhan yang diperkirakan oleh seorang ustad pakar kiamat yang memprediksi melalui hitung-hitungan manusia akan menabrak bumi dan akan mengakibatkan kekacauan bernama dukhan pada 15 ramadhan lalu, tapi boong (skip). Diawal buku Sapiens ini sudah memulai berbicara mengenai hal revolusi, dengan membagi revolusi menjadi tiga bagian yaitu revolusi kognitif yang terjadi 70.000 tahun silam, revolusi pertanian 12.000 tahun silam dan revolusi sains yang baru berlangsung 500 silam. Revolusi tersebut dianggap sangat berpengaruh pada umat manusia dan makhluk hidup. Yang menarik buku ini kemudian diendorse oleh tiga tokoh besar diantaranya Barrack Obama, Bill Gates dan Pemilik Facebook Mark Zuckerberg juga sempat mengutip dan membandingkan Ibnu Khaldun dalam karya Mukaddimah mengenai buku sejarah. Walau sebenarnya agak mengherankan juga di bab awal sapiens seolah membaca kembali teori Darwin yang membuat heboh tahun 2000an soal manusia berasal dari kera dan Yuval berkata “suka atau tidak suka, kita adalah anggota satu family besar dan sangat berisik yang disebut kera besar”.

Di awal saya merasa bahwa keterkenalan seseorang secara tiba-tiba mungkin butuh proses, ataukah semacam settingan tertentu terhadap ide dan gagasan berupa narasi besar, namun saya melihat ada kecenderungan untuk kembali menjadi “seseorang” yang dahulu telah popular di masanya. Mungkin Yuval Noah Harari seperti ingin menjadi “Charles Darwin” yang popular pada abad ke 18 silam dan mencoba mengulang kepopuleran itu kembali lewat karya Sapiens, beberapa paragraph ditemukan semisal “SEPUPU kita simpanse hidup dalam kelompok-kelompok kecil yang terdiri atas beberapa lusin individu. Mereka membentuk pertemanan yang erat, berburu bersama-sama, dan bertarung bahu membahu melawan babun, citah dan simpanse musuh”.  Kalimat tersebut adalah bentuk penekanan seperti yang saya sebutkan diatas bahwa manusia berasal dari golongan kera besar. Bisa jadi dengan mengulang kembali teori-teori popular bisa menjadikan seseorang menjadi populer apakah mengundang diksi pro maupun kontra. Seperti dalam perkataan Yuval  dengan mencontohkan lagi “simpanse adalah kerabat kita yang paling dekat, enam juta tahun yang lalu, satu kera betina memiliki dua putrid. Yang satu menjadi nenek moyang semua simpanse, yang satu lagi adalah nenek moyang kita.” Jika mengkaji lebih telisik lagi memang kedengaran bahwa perulangan kalimat seperti ini adalah mengulang kepopuleran teori evolusi Charles Darwin yang heboh sampai pada abad ke 20.

Seperti membaca bagaimana kawanan hewan atau binatang seperti simpanse dijelaskan bahwa mereka berkelamin jantan dan betina yang membentuk koalisi di antara anggota-anggota kelompok yang mempunyai hubungan layaknya manusia yang akrab dengan keseharian seperti mampu berpelukan, bersentuhan, berciuman dan tolong-menolong. Hal seperti ini memang kita bisa melihat dalam aktivitas kebinatangan jika kita menonton acara TV seperti National Geographi tentu itu adalah aktifitas yang dimiliki oleh binatang, berbeda jika George Orwel dalam buku novel atau lebih tepatnya dongeng Animal Farm yang menjelaskan sebuah narasi sekelompok binatang yang mencoba menggulingkan kekuasaan manusia karena menganggap manusia melakukan perbuatan yang melukai para hewan tepatnya menindas. Jika dibandingkan dengan Yuval dalam Sapiens juga menunjukkan narasi yang serupa misalnya Simpanse ini layaknya politikus manusia yang saat kampanye pemilu berkeliling untuk berjabat tangan dan mengecup bayi, demikian pula para kandidat yang berebut kedudukan puncak dalam kelompok simpanse menghabiskan waktu memeluk, menepuk punggung dan mencium bayi simpanse. Aktifitas sekelompok hewan ini persis dalam dongeng Animal Farm yang ditulis untuk menyinggung kekuasaan totalitarianisme Uni Soviet pada saat perang dunia ke dua. Dalam teori Yuval dijelaskan teori Gosip, kawanan simpanse ini akan berkumpul dalam bentuk kawanan sebanyak dua puluh sampai lima puluh untuk berkumpul dan membentuk tatanan sosial seperti dengan manusia yang akan membentuk kelompok yang diikat oleh cerita-cerita informasi sampai 150 orang yang saling bertukar informasi baik dalam bentuk surat elektronik, panggilan telepon ataupun kolom surat kabar hanya untuk bergosip dan mengokohkan kelompok masyarakat, bisnis, jejaring sosial sampai mendapatkan hubungan akrab melalui penyebaran rumor, perlu satu cerita satu emosi untuk mendapatan tatanan sosial tapi tidak boleh melebihi dari tatanan sosial 150 orang, jika lebih maka tatanan sosial tersebut akan mengalami krisis. Kira-kira seperti itu pandangan rumor Yuval mendefinisikan Simpanse yang menjadi sepupu manusia yang terbatas keakraban dalam kelompok.

***

Kemunculan Fiksi

Buku Sapiens, membahas tiga revolusi besar diantaranya revolusi kognitif, revolusi pertanian sampai dengan revolusi sains. Revolusi inilah yang kemudian menjadi penghubung bagaimana bab pemersatuan umat manusia yang menjadi core idea dalam buku ini mengenai riwayat singkat umat manusia. Dalam penjelasan sebelumnya mengenai tatanan sosial 150 orang ternyata homo sapiens yang dimaksud disini adalah yang bisa melampaui tatanan ajaib angka 150 orang ini, maka disitu kerja-kerja kelompok homo sapiens sehingga bisa mendirikan kota-kota yang berisi puluhan ribu  penduduk tanpa takut akan kutukan krisis jika melampaui jumlah 150 orang, tanpa takut bisnis dan peradabannya gulung tikar jika melampaui angka ajaib tersebut. Bagaimana homo sapiens mampu mendirikan imperium-imperium yang bisa memerintah ratusan jiwa tanpa takut dengan kutukan krisis dan gulung tikar, bahwa menurut Yuval, barangkali adalah kemunculan fiksi. Yah, Yuval dengan tegas menyebut kemunculan fiksi yang bisa membentuk imperium, kota-kota besar sampai peradaban puluhan ribu bahkan ratusan jiwa bisa sukses bekerja sama berkat adanya mitos-mitos bersama yang mereka percayai. Namun yang dicontohkan adalah bukan imperium atau kota-kota besar melainkan sebuah perusahaan otomotif yang dianggap sebuah imperium yang bernama Peugeot, salah satu produsen tertua dan terbesar di Eropa yang bermula sebagai bisnis keluarga kecil di desa dan kemudian sukses dan mengembangkan perusahaan tersebut dan mempekerjakan sampai 200.000 orang diseluruh dunia jika dibandingkan dengan jumlahnya yang banyak maka 200.000 itu bisa ditempati oleh satu distrik tertentu atau katakanlah satu kabupaten dengan populasi sebanyak itu. Yuval melihat sebuah negara dengan melihat perusahaan sebagai contoh kecil atau miniatur negara, bagaimana negara itu berproduksi, mempunyai mekanik, akuntan, mempekerjakan sekretaris sampai pegawai negara, mengelola keuangan, saham, seperti layaknya cara kerja perusahaan. Perusahaan akan tetap utuh dan berjalan dengan baik jika orang-orang yang bekerja didalamnya mempertahankan tradisi mitos atau fiksi tentang keberhasilan yang mereka sepakati bernama “Fiksi Hukum”. Perusahaan diikat oleh hukum-hukum perusahaan atau negara dimana perusahaan tersebut berada atau beroperasi. Kekuatan fiksi dalam fikiran Yuval terlihat terstruktur bagamaina dia beranggapan bahwa keberhasilan Sapiens atau manusia bekerjasama dengan hal-hal asing sehingga membuat bisa menguasai dunia, sementara hewan lain memakan sisa-sisa dari manusia dan simpanse yang lain terkurung dalam kebun binatang dan menjadi alat peraga dan riset laboratorium penelitian. Terlihat plot yang absurd namun seperti itu cara pandang Yuval memperlakukan fiksi sebagai hayalan dan mitos-mitos penciptaan. Bukan hanya pemenang yang menciptakan sejarah, namun juga ilmuan sangat bisa menciptakan ilusi, delusi, rumor, mitos dan fiksi yang kemudian dikonsumsi oleh masyarakat akademik, sampai dengan masyarakat awam yang dimana terjadi perjumpaan dialog dan perjumpaan diskursus yang bisa saja hasil akhirnya tetap menjadi pro kontra jika sudah masuk pada ranah ideologi, agama dan ras. Bagaimana cara meyakinkan mereka semua ditengah sulitnya menciptakan negara, keyakinan, kedaulatan sampai menciptakan lokus dan pengetahuan untuk meretas keyakinan itu. Fiksi dalam pikiran Yuval adalah “konstruksi sosial”, atau “realitas yang dikhayalkan” tapi meyakinkan sebuah kenyataan soal khayalan itu seperti bercerita soal imajinasi liar yang butuh waktu bertahun tahun lamanya agar khayalan itu terjadi diluar nalar dan sainstisme. Seseorang harus percaya kepada iblis agar sosok iblis ada dikehidupan nyata, seseorang harus percaya dewi dan dewa agar sosok dewi dan dewa berwujud nyata dikehidupan nyata. Apa yang dikhayalkan adalah sesuatu realitas. Walau sebenarnya mungkin khayalan tersebut adalah sebuah realitas ganda.

 ***

Gosip Rocky Gerung dan Fiksi Kitab Suci

Kitab suci itu fiksi, demikian salah satu perkataan seorang tim sukses Pemilu 2019. Menurutnya fungsi fiksi adalah mengaktifkan imajinasi, karena dianggap belum selesai dalam realitas. Wilayahnya hanya pada level imaji atau imajinasi seperti yang dia sebutkan bahwa Kitab Suci itu adalah sesuatu yang imaji atau imajinasi dan belum selesai atau belum final bukan faktual dan belum terjadi. Tentu ini adalah pernyataan yang jauh dari prinsip pengetahuan. Lantaran keyakinan dianggap sesuatu yang belum final, tentu agama yang diakui di negara Indonesia seperti Islam, Nasrani, Hindu Budha dan jaman orde baru ada istilah kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dan kepercayaan itu adalah sesuatu yang final dan tidak boleh diganggu gugat kecuali mencari hal definisi lain dibawah pengaruh atau doktrin tertentu. Padahal kita ketahuai sama-sama kitab suci yang dianggap belum faktual dan belum terjadi oleh Rocky Gerung adalah sesuatu yang keliru, Kitab suci bahkan bercerita soal sejarah, katakanlah Al Quran yang bercerita soal umat terdahulu. Segala sesuatu yang belum pernah dibaca maka menjawabnya adalah dengan sesuatu yang berhayal. Bahkan membandingkan kitab suci yang telah ada misalnya sejak jaman Rasulullah dengan Kitab Babad Tanah Jawi yang baru berumur sejak abad 18 dimana bercerita soal silsilah raja-raja cikal bakal kerajaan Mataram. Tentu bukan perbandingan yang pas, tapi lantaran disampaikan oleh tokoh populer jadinya Kitab Suci menjadi terdown grade nilainya sampai level receh dan memuat diksi penghinaan. Oleh Yuval hal seperti ini sekedar gosip, dimana gosip biasanya berfokus pada kesalahan. Tentu, lantaran tidak membaca sejarah dan cerita dalam kitab suci sehingga ketidak tahuan dalam sejarah menjadi gosip yang mengalihkan perhatian yang berbahaya namun tidak disadari apatah lagi oleh publik, semacam membodohi tapi dengan cara retorika yang seolah-olah mendapatkan pembenaran karena mempunyai ruang pamer yang tersedia dan panggung yang disediakan. Mungkin pernyataan ini lah sehingga Rocky Gerung kehilangan ruang pamer dan ruang bergosip lantaran salah menempatkan metode komunikasi dan metode keilmuan yang harusnya berceritera tentang sejarah umat manusia dan segala bentuk firman dalam kitab suci dianggap sebagai sesuatu khayalan dan fiksi. Sama persis jika proses terciptanya alam duniawi juga adalah fiksi dan tiba-tiba ada, mungkin Rocky Gerung juga merasa dirinya sendiri adalah fiksi karena belum final, belum terjadi dan belum faktual karena berada didunia nyata sementara menurutnya fiksi ada dalam wilayah imajinasi. Jadi terbolak balik seperti sinetron dunia terbalik. Seperti seseorang yang menonton televisi yang melihat gambar dan suara tapi tidak melihat kejadian nyata karna dianggap tidak faktual dan tidak terjadi di depan mata, apalagi jika mendengar suara radio tanpa melihat gambar. Menurutnya itu Fiksi.

Komunikasi salah satunya adalah kemampuan seseorang untuk menciptakan realitas melalui pengalaman terdahulu atau pengetahuan terdahulu sehingga mampu menciptakan kisah-kisah. Jika tak didasari pengalaman dan sejarah maka didahului dengan khayalan yang dipaksa menjadi realitas dipaksa menjadi budaya dipaksa menjadi sebuah keyakinan dan kepercayaan.

***

 

Revolusi, diciptakan oleh sastrawan bukan akademisi

 apalagi dari lelaki yang bergosip.


Share:

Pendidikan yang Kehilangan Peringatan !!!


Ilustrasi

Pendidikan Kebudayaan
Untuk membahas pendidikan di hari pendidikan nasional yang kita peringati setiap tanggal 02 mei, mungkin perlu untuk menjejaki setiap moment gagasan pendidikan Indonesia. Saya jadi teringat dengan pendidikan kolonialisme, mengapa para kolonialis dahulu hanya memperuntukkan pendidikan untuk para pribumi terpandang dan mempunyai kedekatan dengan para kolonialis yang saat itu berstatus rakyat Hindia Belanda di abad 19 dahulu yang sekarang kita sebut Indonesia selain untuk lulusannya dipekerjakan menjadi pegawai dan mengabdi kepada Hindia Belanda. Yah saat itu orang tua kita baru mendapatkan pendidikan lewat Jalur Politik Etis yang disepakati setelah pemerintah Hindia Belanda diprotes di forum internasional akibat perbuatan dan perbudakan yang mereka kelola saat itu sehingga melahirkan, tiga gagasan politik etis diantaranya “Irigasi” untuk keperluan pembangunan pertanian, “Imigrasi” untuk mengajak penduduk bertransmigrasi dan “Pendidikan” untuk mendidik penduduk dalam memperoleh ilmu pengetahuan.

Melalui kebijakan etis penguasa Belanda mau menerima tanggung jawab untuk mendidik orang Indonesia. Pada tahun 1901, segelintir orang Indonesia, 1600 orang di level sekolah dasar dan kurang dari 50 di tingkat sekolah menengah harus berjuang belajar di tengah-tengah orang kulit putih. Empat tahun kemudian, jumlah siswa Indonesia naik tiga kali lipat, dan pada 1930, ada 60.000 siswa di sekolah dasar dan menengah yang dikelola pemerintah Belanda. Para perintis di awal abad ini adalah orang-orang pinggiran, yang teralienasi dari masyarakat Indonesia dan Belanda. (Anthonie Reid, 2018 ;13). Pendidikan ini kemudian mendapat respon yang sangat besar saat itu. Akan tetapi mendapatkan interupsi yang cukup radikal dijamannya seperti Ki Hajar Dewantara yang telah mendirikan sekolah swasta bernama Taman Siswa pada tahun 1922, perbandingan 20 tahun lamanya sekolah Hindia Belanda di Evaluasi oleh tokoh pergerakan seperti Ki Hajar Dewantara.

Menurutnya pendidikan yang diberikan oleh pemerintah Hindia Belanda saat itu menjadikan generasi awal yang bersekolah “tercerai berai” karena pendidikan barat tidak mampu memberikan dasar kultural utama bagi peserta didik. Artinya mereka mendapatkan pendidikan barat dan menjadi kebarat baratan dan melupakan kultur utama yaitu menjadi seorang Jawa, mereka dalam memahami kultur utama mesti mendapatkan pendidikan “Kemerdekaan”, diartikan bahwa setiap manusia berhak mengatur kehidupan sendiri tidak dikekang dan mempunyai kebebasan dan merdeka itu adalah kodrat dari Allah Swt dan mempunyai nilai hidup yang luhur baik sebagai perseorangan maupun hidup dalam kelompok masyarakat. “Kodrat alam”, dimaksudkan bahwa seseorang mesti selaras dengan alam semesta, untuk mencapai kebahagiaan maka alam dan lingkungan juga adalah sesuatu yang wajib seseorang itu jaga demi kelangsungan hidup dan penghambaan kepada Allah Swt.  “Kebudayaan” diartikan sebagai pendidian nilai budaya sebagai aspek untuk memelihara sejarah dan nilai-nilai prinsip dasar dari nenek moyang yang tetap dipelihara untuk kepentingan anak bangsa dan generasi penerus bahwa identitas dan corak kebudayaan tetap ada dan tidak luntur. “Kebangsaan”, diartikan bahwa pendidikan kebangsaan adalah wujud utama bagi rakyat untuk mengetahui arah dan posisi bangsa ke depan yang memiliki cita-cita kebangsaan dengan rasa persatuan yang tinggi.  Terakhir “Kemanusiaan”, diartikan sebagai pendidikan akan mempengaruhi atas terbentuknya cipta rasa dan karsa, tidak hanya mengandalkan intelektual akan tetapi juga meningkatkan kekuatan daya cipta seperti pembangunan kepribadian, pendidikan akademis sampai dengan pengembangan diri berupa pendidikan seni yang terangkum dalam pendidikan afektif (olah rasa), kognitif (aspek pengetahuan) sampai psikomotorik (keterampiran).

Ke lima kewajiban ini lah yang disebut sebagai Panca Darma filosofi pendidikan taman siswa yang dikembangkan oleh Ki Hajar Dewantara. Salah satu filosofi pendidikan yang paling terkenal hingga hari ini adalah Ing Ngarso Sang Tulodo (memberikan teladan di depan), Ing Madyo Mangun Karso (di tengah membangun semangat), Tut Wuri Handayani (memberikan dorongan dari belakang) semboyan ini bagi angkatan 70 an dan 80 an adalah semboyan yang merasuk sampai kedalam hati nurani dan dihapal diluar kepala, dan menjadikan semboyan ini seakan-akan kekuatan kebangsaan saat itu. Diajarkan disemua level sekolah, semboyannya ditempel di dinding sekolah agar setiap siswa membaca secara sepintas dan menjadikan semboyan tersebut sebagai karakter anak bangsa, bahwa siapapun harus menjadi pemimpin bagi diri masing-masing pada saat berada di depan, berada di tengah dan berada di belakang, di posisi manapun memberi teladan, membangun semangat dan memberi dorongan dari belakang. Tampaknya Panca Darma dan Semboyan Taman Siswa di jaman Milenial saat ini terlupakan, terhapus dalam memori dari benak pesertia didik maupun pendidik kita hari ini dikarenakan derasnya arus informasi dan komunikasi yang membuat peserta didik maupun pendidik tidak lagi mampu menjadi masing-masing teladan, membangun semangat, dan saling memberi dorongan lantaran kehilangan pendidikan kebudayaan sebagai strategi budaya yang paling utama adalah MEMBACA.

Kebangkitan Ormas atau Kebangkitan Pemuda
Politik etis yang dimulai oleh pemerintah Hindia Belanda pada awal tahun 1900 an seolah menjadi simbol kebangkitan pendidikan dan politik anti kolonialisme. Kita cermati bersama dimana awal tahun 1900 saat itu juga bersamaan terbentuk Organisasi pertama yaitu Sarekat Dagang Islam (1905), didirikan oleh para pedagang-pedagang pribumi Islam yang menentang segala kebijakan ekonomi dan kelakuan kolonialisme Belanda. Pada awal tahun 1900 saya melihat ini merupakan kebangkitan awal pendidikan politik dan perlawanan saat itu, kita lihat terbentuknya Sarekat Dagang Islam yang juga menjadi motor penggeraknya adalah Raden Mas Tirtoadisuryo yang kita kenal sebagai tokoh pers dan tokoh kebangkitan nasional, ada Haji Omar Said Tjokroaminoto yang kita kenal sebagai tokoh bangsa dan salah satu pemimpin Organisasi Sarekat Islam pertama setelah berubah dari Sarekat Dagang Islam. Kita mengenal bagaimana Hos Tjokroaminoto “mendidik” para tokoh pemuda besar seperti yang kita kenal sebagai Presiden Soekarno, Semaon, Muso, Alimin, Kartosuwiryo dan Tan Malaka berada dalam satu payung Sarekat Islam. Organisasi Islam pertama dan Organisasi Pemuda pertama yang berdiri sejak awal tahun 1900-an. Tahun tersebut menandai kebangkitan ide, kebangkitan gagasan, pendirian organisasi dan partai serta kebangkitan solidaritas yang begitu tinggi terhadap perlawanan kepada kolonialis Hindia Belanda. Tokoh-tokoh tersebut diatas kemudian menjadi penyambung lidah bagi rakyat sepanjang awal tahun 1900 sampai menjelang kemerdekaan Negara Republik Indonesia tahun 1945.

Sentimen kepada China pada saat itu memang menguat lantaran pedagang merasa jengkel kepada tekanan ekonomi China dan menyebabkan timbul sentimen anti China sejak awal. Disitulah peletakan Intelektual seorang Hos Tjokroaminoto perlunya kepemimpinan generasi yang terdidik untuk membedakan diri dari bangsa China dan Bangsa Eropa. Selain itu, yang menandakan kebangkitan pendidikan dan politik anti kolonialisme diantaranya berdirinya organisasi agama bernama Muhammadiyah  pada tahun 1912 di Jogjakarta yang sampai mengembangkan sendiri sistem sekolah modernnya disamping kemudian merangkul para pribumi muslim yang berada di sekolah-sekolah pemerintah Hindia Belanda pada saat itu dan sampai dengan saat ini tahun 2020 jumlah lembaga pendidikan Muhammadiyah lebih dari 10.000 yang tersebar di seluruh nusantara mulai bidang pendidikan, kesehatan dan yayasan sosial pada tahun sekarang. 12 tahun setelahnya Pada tahun 1926 di jawa timur, berdiri organisasi keagamaan yang berorientasi tradisional yang juga menjadi kelompok agama yang besar sampai hari ini dan kemudian mendapat respon publik yang luar biasa sesuai dengan survey LSI pada Februari 2019 yang lalu, NU didaulat sebagai Ormas terbesar di Indonesia dengan jumlah persentase sampai 49,5% dan Muhammadiyah sebesar 4,3%. Jika melihat jumlah penduduk Indonesia sekitaran 250 juta jiwa dan 80% beragama islam, maka total persentase 49,5% dari 80% yang beragama islam berarti terdapat kurang lebih 100 juta penduduk Indonesia yang beragama islam berafiliasi kepada Ormas Nahdlatul Ulama. Tentu ini adalah tafsiran seberapa besar pengaruh sebuah ormas terhadap orientasi dalam bidang keagamaan, perkaderan sampai orientasi layanan sosial dan pendidikan. Dan tentunya ormas-ormas besar tersebut melahirkan tokoh tokoh pemuda, ulama besar sampai pada pemuda intelektual yang sejak dulu berikrar dan berdakwah untuk Indonesia yang lebih baik, jika melihat ikrar pemuda saat awal-awal 1900 an segala hal yang berbau imperialisme, kolonialisme sampai dengan kapitalisme maka itu adalah musuh bersama.


Share:

Paranoia Horor, Teror(is)me dan Virus Kebangsaan 2020


Ilustrasi

02 Maret 2020 adalah tanda dimana Indonesia telah memasuki kuasa pandemik Global Covid 19 sejak diumumkan oleh pemerintah. Tentu ini adalah ujian kebangsaan yang membuat seluruh dunia merasakan iklim paranoia atau iklim ketakutan tak terkecuali Negara Indonesia. Silih berganti media membahas tiap waktu sejak awal diumumkan dari Negeri Tirai Bambu, dan sekarang kita melihat paranoia ini di depan mata kita, mata Indonesia. Mulai dari pusat Ibukota sampai dengan celah pedesaan menyampaikan ketakutan, kecemasan, kegelisahan, kegilaan, kerumunan, pengabaian terhadap manusia dan kemanusiaan yang memberikan sinyal derita dan rasa tidak aman pada tingkat kemanusiaan dan masa depan eksistensi tiap tubuh.

Kita melihat berbagai macam video yang viral yang sampai di ruang Whatsapp kita masing masing dari negara Eropa dan Amerika Latin seperti Equador adanya penumpukan mayat di rumah dan di jalanan yang tidak terurus bahkan terlantar, WHO bahkan melaporkan mencapai angka 5000 kematian dalam semalam, negara yang berpopulasi 2,5 juta jiwa tersebut. Itu jumlah populasi yang sama jika kota Makassar, Kabupaten Maros, Kabupaten Gowa, dan Kabupaten Bone digabung kira-kira menyamai populasi Ekuador. Tentu kita tidak menginginkan kejadian serupa terjadi di tempat yang kita diami disebabkan begitu besarnya citra paranoia horor yang begitu menyesakkan fikiran dan akal sehat seolah olah eksistensi tubuh ditengah serangan C19 ini adalah jalan menuju kematian.

Dalam masa pandemik global ini, ada banyak analisis yang memberi penafsiran mulai dari kacamata ideologi, ekonomi bahkan meramalkan kehancuran sebuah negara besar dikarenakan tidak mampu mengatasi dengan segera C19 yang ternyata sudah berkembang biak sampai 3 Jenis A, B dan jenis C. Jenis yang mengherankan para pengamat internasional lantaran Jenis C19 yang ada di Amerika berbeda dengan yang ada di Tiongkok. Kita pun masih mengaitkan ini adalah sebuah skema perang antara Amerika dan Tiongkok sehingga silih berganti kita menemukan gambar karikatur antara Donald Thrump dan Presiden Tiongkok Xi Jin Ping sedang bertarung dalam ring sambil mengenakan sabuk tinju, spekulasinya adalah perang dagang antara mereka beralih pada subjek yang namanya Covid 19. Dilain sisi, Tiongkok deklarasi kemenangan melawan C19 pada akhir maret 2020, dan kita tahu populasi rakyat Tiongkok lumayan besar yaitu 1,6 Milyar jumlah penduduk yang mengirimkan kabar ke seluruh dunia tentang kemenangan melawan C19. Layaknya tirai, mereka menguasai dan mulai bangkit dan menutupi aib dalam negaranya sendiri dimana gejala ini bermula.

Dan keuntungan Negeri tirai bambu ini bisa mengirimkan tenaga kesehatan di negara lain berikut menjadi supplayer alat kesehatan yang sangat dibutuhkan seperti APD, Masker dan alat kesehatan lain seperti ventilator. Dunia perlu waspada, dan tetap terjaga mengingat virus C19 ini semakin subur jika berada pada musim dingin, maka negara yang mempunyai 4 musim utamanya musim dingin sampai bersalju diperkirakan terjadi pada bulan juni sampai agustus dibeberapa negara-negara Eropa dan Asia lainnya dimana Flu juga merupakan penyakit musiman yang menggejala dan dianggap berbahaya hingga mengakibatkan kematian.  


Teror ISIS dan Ujian Nasionalisme di Tengah Wabah

Bersabar dari paranoia sistematis dilain sisi negara kita lagi-lagi diperhadapkan kepada bencana ganda yaitu aksi terorisme seperti yang terjadi pada wilayah Sulawesi Tengah, Kabupaten Poso. Kita dipertontonkan adegan baku tembak terduga teroris yang berlangsung pada 14 April 2020 kemarin yang diketahui pelakunya berasal dari kelompok MIT (Mujahidin Indonesia Timur) setelah pelaku penyerangan tersebut bisa dilumpuhkan oleh aparat dan meninggal dunia. Kelompok MIT tersebut yang meninggal dunia, berdasarkan video yang beredar diarak untuk dibawa ke pemakaman dengan begitu ramai dan diiringi dengan pekikan takbir. Padahal kita tahu aksi-aksi terorisme merupakan tindakan kejahatan dan kriminal. Tak luput pula kita diperlihatkan pengantar jenazah pelaku tengah membawa Bendera Hitam yang kita telah sepakati itu adalah bendera ISIS (Islamic State of Iraq and Syiria). 

Sangat jelas ini adalah ancaman kebangsaan ditengah pandemik global saat ini, dimana semua rakyat sedang cemas memikirkan dampak C19 tapi disisi lain diwaktu yang bersamaan kita juga menghadapi virus kebangsaan yang tidak kalah ganasnya ingin merongrong kedaulatan negara dan bangsa. Relasi antara MIT dan ISIS mungkin masih kita ingat genealogi bagaimana pimpinan MIT, Almarhum Santoso yang saat 2016 tewas tertembak dalam aksi baku tembak oleh aparat yang juga telah berbaiat ke ISIS dan mendeklarasi diri bersama kelompok MIT menjadikan Poso adalah sentrum gerakan Jihad MIT.

Ada beberapa fenomena yang menarik soal eksistensi gerakan terorisme di Indonesia, seperti menganggap para terorisme tersebut adalah “Hero” atau pahlawan dalam islam dikarenakan narasi narasi yang terbentuk selalu menganggap jenazah teroris diiringi dengan pekikan takbir seolah mereka tewas dalam keadaan yang benar. Narasi tersebut selalu berulang, saat Santoso meninggal juga dinarasikan sebagai mujahid, para pelaku bom bunuh diri seperti bom Bali tahun 2002 yang berhasil merenggut nyawa 200 orang oleh publik dianggap seorang “Hero” pahlawan ataukah mujahid dan meninggal secara syahid. Dan beberapa aksi pengebomam yang langsung menyerang kantor aparat kepolisian beberapa waktu yang lalu.

Dalam analisis Yasraf Amir Piliang, berbagai bentuk kekerasan dan peristiwa horor yang mewarnai kehidupan negara-bangsa kita akhir-akhir ini tidak dapat dipisahkan dari peran citra superioritas dan citra kekerasan yang dibangun oleh berbagai pihak. Masing-masing pihak ini membangun kekuatan-kekuatan horor yang dilengkapi dengan mesin-mesin horor dan menggelar berbagai peristiwa horor.

Hal ini menjadi sebuah sinyal derita untuk membangun dan mengepung kesadaran negara bangsa agar kiranya tetap waspada dan lebih berhati-hati dalam gerakan terorisme yang menggejala, dikarenakan sel-sel tidur mereka tidak pernah berhenti untuk mencari keadaan yang lowong, lengah dan mereka sangat mengerti kapan harus bangun dan berencana semaksimal mungkin. Semoga negara dan bangsa Indonesia bisa segera lepas dari Virus kebangsaan yang bersamaan hadir di waktu yang kita tidak inginkan terjadi. Wassalam.

Share:

Penjara, Laboratorium Vakum dan Simulasi Ricuh Anarko

Ilustrasi

Penjara ‘Orwel’ sampai Laboratorim Vakum ‘Boudrillard’
Sejak semua kegiatan terpusat di perkotaan, segala macam bentuk aktivitas perekonomian berputar pada kota dan isinya. Gedung-gedung raksasa menjadi simbol peradaban suatu kota tentang segala bentuk pertukaran maupun strategi dan operasi budaya yang terdekonstruksi tiap saatnya. Sepanjang strategi budaya tersebut juga disaat yang sama kumpulan essai George Orwel yang berbicara tentang “Bagaimana Si Miskin Mati” membahas sekitar soal perang, politik, kemanusiaan dan sastra seolah olah berjalan berdasarkan prinsip sirkulasi bebas yang tidak teratur. 

Ketika menyebut kota, yang ada adalah peradaban, kemewahan, kesejahteraan tempat berkumpulnya manusia namun ketika menyebut Si Miskin, yang ada seputar  penyakit , kemanusiaan, kotor dan lain sebagainya yang mirip perkataan juru bicara Covid 19 yang menempatkan kemiskinan sejajar dengan penyakit, membuat drama ketersinggungan kelompok selama berhari-hari namun terlupakan seiring dengan aktivitas infomasi yang terdegradasi oleh informasi lainnya mungkin tak salah, ada benarnya seperti dalam kumpulan essai George Orwell itu, sekilas menggambarkan tentang kehidupan penjara, tahanan yang berbadan kurus kerempeng, kepalanya gundul dan matanya basah dan menerawang yang menunggu giliran untuk berjalan dan melangkah mati menuju ajalnya di tiang gantungan. Dalam paparan Orwell, seseorang bertindak konyol lantaran desakan massa dan intervensi yang tidak jelas sehingga seseorang pun juga tak ingin tampak bodoh tanpa berbuat apa-apa. 

Ya terdengar seperti sirkulasi yang tidak teratur dan tak bersistem. Berbeda dengan penjelasan Jean Boudrillard yang menyoal ritual transparansi daripada penjara dan tahanan Orwell, menurutnya seseorang berada dalam eksistensi di dalam Laboratorium yang vakum, lingkungan yang kita tempati adalah sebuah laboratorium yang dianggap sebagai lingkungan buatan untuk daya tahan biologis tubuh seseorang agar terprotektif. Seseorang merenung, berfikir dalam laboratorium yang vakum layaknya pro kontra soal menggunakan darurat sipil seperti bahasa diawal April 2020 Pak Jokowi berkata semua skenario kita siapkan dari yang ringan, moderat, sedang, sampai kemungkinan yang terburuk. 

Darurat sipil itu kita siapkan apabila terjadi kondisi abnormal yang kemudian dirujuk dalam UU. No 23 tahun1959 tentang keadaan bahaya. Ya, Presiden berhak untuk menyatakan status itu walau timbul pro kontra dilingkungan masyarakat, akan tetapi isu darurat sipil ini juga merupakan salah satu skenario dari scenario lainnya semisal darurat militer, darurat perang sampai darurat bencana yang membahayakan kondisi Negara. Akan tetapi yang disepakati untuk skenario yang boleh dikata moderat adalah kebijakan penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang merujuk pada UU. Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan dibandingkan kebijakan Lockdown yang membuat Negara-negara Eropa takluk dan tidak teratur cenderung ricuh seperti Amerika, Italia dan yang baru-baru ini terhadi pada Negara Turki yang warganya terlibat panic buying sampai dengan baku hantam di area perbelanjaan. 

Belum yang terheboh adalah Negara India, penduduknya berkumpul untuk dipulangkan oleh pemerintah namun yang terjadi adalah penumpukan sehingga mengakibatkan lonjakan arus manusia yang ingin kembali ke kampung halaman lantaran kehilangan pekerjaan di kota dimana mereka menjadi bagian daripada modernisasi perkotaan. Tidak mendapat tumpangan untuk pulang, akhirnya mereka memilih untuk berjalan kaki. Tentu ini juga menjadi masalah baru bagi mereka jika setibanya di kampong halaman, apakah bersatus ODP ataukan PDP ataukah sudah pada tahap status Positif. 

Seperti yang terjadi di Indonesia, larangan mudik, kehilangan pekerjaan dan belum optimalnya pembagian sembako dalam penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), seseorang lebih memilih untuk kembali ke Kampung Halaman, atau Desa atau tetap melanjutan pekerjaan seperti biasanya. Ini yang kemudian Boudrillard maksud pada Laboratorium yang vakum, seseorang diisolasi untuk dianggap steril dan jauh dari segala macam bentuk bakteri dan partikel namun karena tidak optimalnya sumber daya dan Negara merawat lingkungan tersebut sehingga yang diisolasi sekarat dalam kevakuman sampai kemudian kembali keluar dan berjibaku dengan semua orang yang berstatus ODP, PDP ataukau sampai menjadi korban. Lebih lanjut, Boudrillar berkata, Jika manusia terlepas dari pertahanan dirinya maka ia mudah diserang oleh ilmu pengetahuan. Jika dia terlepas dari fantasinya, manusia akan mudah diserang oleh psikologis. Jika dia terlepas dari segala macam bibit penyakit, manusia akan mudah diserang oleh ilmu kedokteran. 

Akibat dari ketidakoptimalan penanganan walau usaha dan ihtiar sudah dilakukan masyarakat kita memang rentan menjadi objek yang berserak, terpecah-pecah menjadi ego-ego yang susah untuk ditangani sehingga tidak mampu mencapai suatu finalitas yang didambakan bersama. Inilah yang menjadi gambaran, fantasi atau hayalan tinggi seseorang, kelompok atau masyarakat tertentu melihat Negara, melihat yang timpang, melihat ada yang tidak beres dalam pengelolaan dan pendistribusian kesejahteraan. Ada ruang tanya yang besar pada Negara untuk itu semua, untuk semua yang belum mendapatkan perhatian, stimulus sampai dengan mendapatkan kelangsungan hidup yang wajar. Hingga pada saatnya gelombang dan ancaman akan terulang secara perlahan sampai pada titik komunal yang disengaja. Mulai penguasa yang dianggap demokratis, dari kaum aristokrat, oligarki, monarki atau tirani, darimanapun asal genealoginya sehingga dimampukan bertransformasi kedalam  wujud Negara yang sesuai dengan kemanusiaan yang adil dan beradab.

Kill the Rich” Simulasi Ricuh Anarko
Kalimat diatas Kill the Rich adalah bahasa propaganda. Selain kalimat tersebut diatas ada kalimat yang juga ikut menyertai seperti “Sudah Krisis Saatnya Membakar”, “Mau Mati Konyol atau Melawan”, ke tiga (3) kalimat tersebut dipropagandakan dari Jakarta dan Bandung dan muncul disaat yang bersamaan. Pengakuannya didasari karena tidak puas dengan kebijakan-kebijakan pemerintah dan berupaya memanfaatkan situasi yang saat ini masyarakat sedang resah, ada juga pengakuan bahwa mereka terinspirasi oleh Film Laris seperti Joker dan dari Band Anti Flag berasal dari Amerika berjudul Kill the Rich”, band Punk ini dianggap sebagai Band Politik di Amerika lantaran membawakan lagu lagu kritik dan politik seperti issu rasisme, fasisme, kebijakan luar negeri Amerika, bahkan saya menganggap jika gerakan ini mereka ada kecenderungan berhasil bisa saja bahasa propaganda awalnya Kill the Richbisa berubah menjadi Die For The Government” salah satu lagu paling terkenal dari Grup Band Anti Flag ini, yang menganggap mati untuk pemerintah itu adalah kesialan. 

Ya memang terlihat bahwa ideologi kelompok punk ini sangat kuat adalah anarkisme. Anarki berarti tanpa ada yang memerintah. Tidak ada yang berhak mengatur, kecuali diri mereka sendiri yang mengerti batasannya. Dan menurut kelompok Punk ini, kebebasan yang mereka lakukan tersandera oleh Negara karena aturan sosial budaya politik dan hukum.  Namun, jika membaca sejarah Anarkisme di Indonesia kita bisa melihat jauh kebelakang nama Dauwes Dekker, seorang tokoh anarkisme yang juga ikut didalam membantu perjuangan kemerdekaan Indonesia. 

Dauwes Dekker sendiri dikenal dengan nama pena Multatuli, yang mempelopori gerakan anti kolonial Hindia Belanda. Novel Max Havelar yang ditulis oleh Multatuli adalah karya yang mendunia dijaman kolinialisme dan membuka aib permerintahan Hindia Belanda terhadap wilayah koloninya. Buku tersebut merupakan panduan untuk melakukan perlawanan dan bagaimana cara mengerti tentang sistem tanam paksa yang dilakukan oleh kolonialisme Belanda yang bekerjasama dengan feodalisme pribumi yang sangat menindas rakyat dengan system tanam paksa tersebut. 

Novel Max Havelar ini kemudian dianggap menjadi buku yang paling menginspirasi sehingga kolonialisme Belanda menghapus system tanam paksa dan mengubahnya menjadi Politik Etis. Kelompok yang ditangkap di Jakarta dan Bandung kemarin sepertinya kelompok yang tidak belajar kepada sejarah, bukan malah memperlihatkan bagaimana melepaskan rakyat seperti sejarah anarkisme politik yang dicontohkan oleh Multatuli tapi malah menjadikan situasi ini seperti nyala api dan tindakan kriminal. 

Saya jadi ragu mereka yang dituduh Anarko itu sambil melakukan ujaran kebencian dan tindakan kriminal belum mengerti cita-cita Max Havelar sebagai pelopor ajaran Anarkisme di Indonesia pada masa kolonialisme. Bahkan Pramudya Ananta Toer  menulis artikel yang diterbitkan dalam bahasa Inggris sebagai “Best Story; The Book That Killed Colonialism” di New York Times, 18 April 1999 untuk memuji Multatuli sebagai Buku yang membunuh Kolonialisme, lantara buku tersebut membuat pemerintahan Hindia Belanda membangun irigasi, migrasi antar pulau, dan pendidikan saat itu. 

Bahasa propaganda yang dalam aksi vandalisme tersebut sangat jauh dari nilai-nilai anarkisme ajaran Multatuli. Bahkan mengajak untuk membunuh saudaranya sendiri ditengah pandemik global yang belum jelas kapan berakhirnya. Dalam penjelasan Robert Dahl soal Anarkisme, teori Filsafat anarkisme itu percaya bahwa karena Negara itu menindas dan karena penindasan pada hakikatnya tidak baik, maka Negara pada dasarnya jahat; dan selanjutnya Negara dapat dihilangkan sebagaimana setiap kejahatan yang tidak diperlukan itu harus dihilangkan dengan jalan menggantikannya dengan perkumlan-perkumpulan sukarela. 

Memang pandangan seperti ini berbeda pandangan jauh dengan Demokrasi, karena dianggap jauh lebih tidak terpadu misalnya dari pemikiran William Godwin, Kropotkin, Mikhail Bakunin, Proudhoun dan lain-lain yang menyodorkan gagasan mengenai Anarkisme yang menganggap Negara tanpa penguasa. Memang terkesan purba jika menghadirkan kembali percakapan terhadap kelompok oposisi terhadap eksistensi Negara misalnya  kelompok anarkisme. Tapi yang terjadi di Jakarta dan Bandung, sungguh saya melihat mereka seperti bukan berasal dari kelompok anarkis ideologis, namun Cuma sekedar kelompok sempalan yang mungkin bisa saja berada dalam “perintah” atau “bayaran” belaka. Kita tidak pernah lepas dari issu pembangkangan kelompok terhadap Negara belakangan ini, ada isu komunis, isu pendirian Negara khilafah, isu kelompok terror seperti ISIS, Isu kelompok criminal dan bersenjata seperti Organisasi Papua Merdeka (OPM) sampai isu gerakan radikalisme dibeberapa daerah yang ada di Indonsia. 
Share:

About Me

My photo
Diri Umar Bakri. Pengoleksi Buku lapuk. Peminum Kopi Kapal Api. Berusaha melancongi imajiner tiap waktu.

Pengunjung Blog

Followers

FajAruTa

"Buku harus dijadikan kapak untuk memecah lautan beku dalam diri kita" #Franz Kafka